Jumat, 04 Oktober 2013

KEPRIBADIAN TERTUTUP


Seorang guru sudah seharusnya memperhatikan tingkah laku setiap siswa di sekolah. Apakah tingkah laku siswa ketika sedang melaksanakan proses belajar mengajar atau ketika sedang bermain di luar kelas. Ada dua bagian sifat siswa yang harus menjadi bahan perhatian kita sebagai guru. Namun pada kesempatan ini saya akan membahas siswa yang memiliki sifat tertutup (introvers).
Siswa yang tertutup sering memperlihatkan kecenderungan untuk mengembangkan gejala-gejala ketakutan dan depresi. Ditandai oleh kecenderungan mudah tersinggung, apatis, dan sarafnya labil. Perasaan siswa tersebut mudah terluka, mudah gugup, menderita rasa rendah diri, mudah melamun, dan sukar tidur. Namun walaupun kecenderungan ini tidak semuanya ada di dalam diri seorang siswa. Beberapa kecenderungan tersebut harus kita atasi dengan suatu upaya yang bersifat positif demi kelangsungan hidup mereka.
Apa upaya untuk mengatasi siswa yang bersifat tertutup? Intelegensi anak tersebut biasanya bagus. Ada yang memiliki intelegensi relatif tinggi, perbendaharaan kata baik, dan cenderung tetap pada pendirianya. Terkesan berpendirian keras kepala. Umumnya bersikap lambat. Pada umumnya, mereka memiliki aspirasi tinggi, tetapi ada kecenderungan untuk menaksir prestasinya yang rendah. Mereka agak kaku, mereka suka akan gambar-gambar yang tenang model lama, dan kurang suka lelucon berbicara masala seks.
Saya akan tetap menganjurkan kepada rekan-rekan guru untuk selalu memperhatikan siswa yang memiliki sifat tertutup dengan upaya latihan menulis. Kegiatan menulis bagi siswa semacam itu merupakan pemecahan masalah dari kecenderungan kurang baiknya. Siswa yang memiliki gejala ketakutan, mudah tersinggung, dan sifat negatif lainnya harus diatasi dengan banyak melakukan latihan menulis. Menulis dengan bimbingan guru akan sangat menentukan keberhasilan belajar mereka.
Bagaimana mengatasi siswa yang menderita ketakutan? Ada yang takut salah sewaktu mengemukakan pendapat, takut dimarahi, takut ditanya, dan segala macam rasa takut lainnya. Saya merasakan sendiri bagaimana menjadi orang yang termasuk tertutup di masa kecil. Dengan banyak pengarahan dari orang lain secara langsung maupun melalui kegiatan membaca buku-buku tentang kepribadian, maka segala permasalahan demikian bisa diatasi dengan baik.
Menurut buku Berpikir dan Berjiwa Besar bahwa apabila kita merasa takut melakukanlah sesuai dengan rasa takut itu. Pengalaman saya, waktu itu merasa takut akan lintah, rasanya semakin ditakuti malah semakin sering dihinggapi binatang lintah itu. Ada pengalaman sewaktu masih muda, saya biasa mencuci pakaian sendiri di pemandian umum. Mencuci sambil duduk di atas batu. Setelah mencuci terus mandi, berwudlu, berpakaian dan pergi ke mesjid mau shalat Jum’at. Di mesjid saya merasakan gatal di selangkangan. Datang di rumah, saya melihat lintah menempel di tempat yang saya rasakan gatal tersebut. Mulai saat itu saya semakin berani dengan lintah, bukan sebaliknya.
Saya banyak mencoba untuk memegang lintah sambil memejamkan mata. Dalam pikiran saya nekad mau apa jadinya, bahkan saya pindahkan lintah itu ke borok yang ada di kaki, ternyata selang beberapa hari sakit boroknya sembuh. Memang rasa takut masih ada, tetapi kalah dengan perasaan enak setelah lintah itu menghisap darah kotor saya. Dengan waktu yang relatif lebih cepat penyakit di kaki sembuh dan belum tentu kalau lintah itu tidak saya tempelkan di kaki yang ada borok itu.
Mulai saat itu saya tidak takut lagi dengan lintah. Begitu juga saya menjadi tidak takut dengan ulat berbulu yang sangat gatal bila bulunya kena kulit. Penasaran binatang itu saya tempelkan di atas lengan, memang bulu kuduk saya merinding, tetapi lama-lama saya tidak takut lagi akan ulat apa saja. Ternyata pendapat orang-orang besar saya terapkan ada benarnya. Begitu juga apabila kita menghadapi siswa yang memiliki rasa takut yang berlebihan bisa diatasi dengan mencoba apa yang dia takutinya.
Takut salah dalam berbicara bisa kita coba siswa itu untuk sering dilibatkan dalam obrolan tentang bagaimana kegiatan di rumah setelah pulang sekolah. Sengaja anak tersebut disuruh untuk menceritakan tentang pengalaman waktu di rumahnya. Memang kita harus bisa menyuruh dengan bahasa dan tata cara yang membuat anak itu berani berbicara. Dengan banyak mencoba apa kita rasakan takut, baik itu takut pada benda atau perbuatan, perasaan kita akan berubah menjadi berani bahkan akan menjadi suatu hobi yang mampu menghasilkan sesuatu.
Pengalaman saya akan lebih baik saya sampaikan kepada para pembaca artikel ini semoga bermanfaat. Terutama pengalaman berbicara dan menulis. Saya masih menyadari kekurangan dalan keberanian mencoba menulis yang banyak untuk dikirim ke beberapa penerbit. Mengapa tidak saya lakukan pada waktu dulu? Namun hal itu belum terlambat, karena tentang kebaikan yang kita lakukan tidak ada kata terlambat. Yang terlambat apabila kita tahu bahwa hal itu baik, tetapi tidak mau kita lakukan. Setelah kita tahu bahwa hal itu baik, maka lakukanlah segera. Praktekkan kepada anak-anak kita atau para siswa di sekolah.
Setelah anak itu mau berbicara, kita beri pujian atau elusan “ Kamu hebat sudah bisa berbicara tentang pengalaman kamu tadi malam sebelum kamu tidur! Sering-seringlah kamu bercerita kepada bapak atau teman-teman kamu ketika kamu mendapat keberhasilan. Selamat mencoba, ya?” Pada kesempatan ini saya tetap mengajak kepada rekan-rekan guru yang baik hati di tempat tugas masing-masing untuk membimbing para siswa untuk banyak berlatih menulis.
Sambil memberi bimbingan menulis kepada siswa, kita sebenarnya sedang membiasakan diri untuk rajin menulis. Semakin sering kita menulis, akan semakin lancar apa yang kita tuliskan itu bermunculan. Berbeda dengan waktu yang lalu sebelum saya banyak melakukan latihan menulis. Apa hubungannya antara menulis dengan siswa yang menderita penyakit takut? Apabila siswa takut salah berbicara, maka siswa tersebut disuruh menuliskan apa yang dia takuti.
Kita dekati anak yang merasa takut apabila disuruh menjawab pertanyaan suka diam saja. Kita Tanya dengan nada yang menyenangkan, “ Mengapa kamu diam saja sewaktu Bapak bertanya kepadamu? Apa yang kamu takutkan? Apakah kamu malu? Kamu sebenarnya anak yang pandai, karena belum biasa kamu menjawabnya, kamu tidak mau mencoba untuk menjawab pertanyaan dari Bapak. Namun kalau kamu tidak mau menjawab secara lisan, coba kamu tuliskan apa yang kamu takuti!” Begitu seterusnya kita dekati mereka dengan bahasa yang mudah dipahami anak tersebut.
Kemudian anak mau menulis apa yang dia takuti. “ Saya memang anak pemalu dan penakut. Saya takut salah kalau disuruh menjawab pertanyaan, karena di rumah kalau ikut berbicara sewaktu ayah dan ibu sedang ngobrol saya suka dimarahi!” Kita sebagai guru harus jeli akan berbagai permasalahan yang dihadapi para siswa. Kesalahan orang tua siswa dalam hubungannya dengan anak-anak-anak terbawa ke sekolah dan sangat mempengaruhi kepribadian mereka. Gurulah yang harus bisa mengatasi semua hal itu, karena merekalah yang mempunyai kewenangan di bidang pendidikan dan pembelajaran.
Siswa yang penakut, pemalu, was-was, tidak percaya diri, dan segala macam sifat negatif lainnya bisa diatasi dengan cara mereka disuruh menulis apa yang sedang mereka rasakan. Tentu di sini harus dilakukan dengan waktu dan kesempatan yang lebih sering. Jadikan sekolah dan rumah kita sebagai tempat yang merangsang belajar menulis anak-anak kita. Atau kita jadikan situasi dan kondisi apa saja sebagai sarana berlatih menulis yang sifatnya penyembuhan.
Menulis juga bisa kita jadikan sebagai obat penyembuh penyakit rasa mudah tersinggung, rendah diri, dan segala hal yang terdapat pada pribadi siswa yang tergolong introvers tersebut. Kita baca buku-buku yang berhubungan dengan hal-hal yang positif dan bersifat menyenangkan serta menyembuhkan hanya dengan kata-kata yang kita baca tersebut. Sebagai guru harus lebih banyak membaca dari pada orang lain yang pekerjaannya selain mengajar dan mendidik.
Banyak membaca akan mempermudah bagaimana kita menulis. Termasuk menulis yang diperintahkan kepada siswa akan menjadi sarana pembelajaran menulis yang lebih terarah pada penyembuhan penyakit jiwa, hati dan kepribadian. Kita menyadari bahwa setiap orang, termasuk siswa sangat membutuhkan sesuatu. Termasuk kebutuhan akan penyembuhan segala kekurangan yang ada dalam diri kita masing-masing. Bimbinglah siswa dalam pemenuhan diri dengan menulis. Mereka mempunyai banyak kebutuhannya, seperti kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, sosial dan kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Ajaklah para siswa sedini mungkin untuk terbiasa bahwa menulis tersebut mampu membuat anak sehat dan sembuh dari perasaan dirinya kurang. Kita harapkan para siswa memiliki limpahan kreativitas, intuisi, keceriaan, suka cita, kedamaian, toleransi, kerendahhatian, dan memiliki tujuan hidup yang jelas. Marilah bersama-sama kita berangkat dari hal-hal sederhana sekalipun menulis dan mengajak menulis kepada para siswa yang kita bimbing untuk mengatasi berbagai kekurangan yang ada di dalam diri kita masing-masing. Menulis yang bisa menyembuhkan perasaan harga diri kurang.
Sengaja saya kemukakan bahwa menulis termasuk salah satu upaya untuk mengubah sifat-sifat negative yang ada di dalam diri kita dan diri anak-anak. Menulis sebagai upaya perubahan dan perbaikan diri dari hal-hal yang kurang menjadi kuat, dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada akhirnya dari tidak dewasa menjadi dewasa. Dari tidak biasa dan bisa menulis menjadi bisa dan biasa menulis sebagai proses pendewasaan diri. Jangan kita hiraukan masalah menulis ini, pada waktu mendatang akan membuka peluang untuk memajukan keberadaan diri sendiri, keluarga, dan orang banyak. Mari kita mulai saat ini pula dengan kegiatan menulis, terutama bagi orang yang memiliki sifat tertutup.
Walaupun kita tidak mampu menjadi pembicara seperti para trainer dengan lancarnya mereka berbicara secara lisan, maka kita kembangkan kemampuan menulis. Menulis bagi orang yang memiliki sifat tertutup sangat memberi peluang sesuai dengan sifat dasarnya. Adanya kecenderungan untuk lebih maju bagi kita hanya menjadikan kegiatan menulis sebagai budayanya. Allah bisa karena memiliki kekuasaan, tetapi kita bisa karena kebiasaan, maka biasakanlah menulis agar kita menjadi bisa menulis.

0 komentar:

Posting Komentar