Jumat, 01 Juni 2012

SIKAP TERBAIK DALAM MENDIDIK
(Jajang Suhendi, Cikedal-Pandeglang)

Ketika baru beberapa bulan saya bekerja sebagai guru CPNS, saya sangat disenangi anak-anak. Begitu tiba di sekolah saya langsung dikerumuni anak-anak. Mereka bersalaman dan mengucapkan salam kepada saya. Waktu itu saya paling awal datang di sekolah. “Assalamu ‘alaikum!” Kata anak-anak hampir berbarengan mengucapkan salam kepada saya. Ada anak yang mengatakan, “Pak, tadi pagi saya shalat shubuh.” Ada lagi yang mengatakan tentang menghapalkan pelajaran di waktu malam, ada yang memnbantu ibunya memasak nasi tadi pagi, dan masih banyak lagi anak yang mengatakan tentang kegiatan di rumahnya masing-masing. Mungkin saat ini guru-guru tidak ada yang menerima laporan seperti itu dari para siswanya. Nilai-nilai karakter yang diperlihatkan anak-anak saat ini menunjukkan karakter yang kurang baik. Mungkin hal itu mungkin guru dan orang tua kurang membiasakan anak-anak untuk hidup menghargai terhadap orang tua dan guru-gurunya.

Saya menggunakan pendekatan kekeluargaan dalam mendidik anak-anak di rumah dan di sekolah saat itu. Dengan elusan, sapaan, dan tanda-tanda isyarat tangan yang menguatkan atas apa yang telah anak-anak kerjakan. Saya mengucapkan kata-kata yang memotivasi anak telah melakukan sesuatu kebaikan menolong ibunya. Ucapan yang saya lontarkan kepada anak tersebut, “Wah, bagus sekali kamu telah bisa membantu ibumu memasak di dapur padahal kamu masih kecil!” Dan apabila ada anak yang rajin mengerjakan PR waktu malam, saya mengatakan yang menguatkan, “Bagus sekali, nak, kamu nanti bisa menjadi anak cerdas di sekolah ini. Teruskan kamu belajar di waktu malam menjelang tidur dan ketika belajar di sekolah!”

Demikian saya merespon berbagai laporan para siswa sambil mengacungkan jempol untuk memberikan apresiasi ganjaran atas segala prestasi mereka. Terlihat di wajah anak-anak rasa gembira dan bangga dengan perlakuan seorang guru kepada anak-anak. Raut wajah mereka menggambarkan kepada siapa saja yang melihatnya bahwa dirinya memang sebagai anak yang shaleh dan shalehah. Sebelum mereka masuk ke proses pembelajaran di kelas, mereka sudah merasa senang dan menerima kepada gurunya. Itulah proses pembelajaran saat ini yang hampir dilupakannya. Hampir banyak kegiatan guru disibukkan oleh pencapaian target materi yang harus diselesaikan dalam satu smester tanpa memperhatikan situasi dan kondisi anak-anak.

Peristiwa itu terjadi hampir setiap pagi saya lakukan terhadap anak-anak didik di mana saya bekerja. Menjelang pelaksanaan pembelajaran dimulai saya melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut membiasakan diri anak didik kita hidup tertib, akrab, dan bisa membuat lingkungan belajar yang kondusif. Mereka bersemangat untuk belajar tanpa merasa terpaksa oleh sulitnya pelajaran yang diberikan guru di kelas. Memang perasaan senang siswa kepada guru apabila sudah tertanam di dalam jiwa anak-anak didik pelajaran sulitpun akan terasa mudah. Dapat saya rasakan pada waktu itu, pelajaran matematika yang cukup sulit hampir enam puluh persen mampu dikerjakan anak-anak dengan nilai di atas enam.

Dalam lingkungan seperti itu penaman budi pekerti dan nilai-nilai keagamaan bisa kita terapkan dengan sebaik-baiknya. Secara tidak langsung anak-anak dapat dipengaruhi dengan nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan kemandirian dalam menghadapi pekerjaan sesulit apapun. Lingkungan yang kondusif dalam mengembangkan semangat pengembangan nilai-nilai melalui yang dialogis, terbuka, humanis, dan menyenangkan tanpa adanya kesan mendoktrin yang kaku terhadap sikap dan perilaku anak-anak. Lingkungan semacam ini akan membuat situasi dan kondisi proses pembelajaran yang berhasil.

Saya merasa bangga dan kagum kepada anak-anak didik masih muda sudah mampu melakukan sesuatu yang baik dan berharga. Mereka sudah menyadari betapa pentingnya nilai-nilai kemandirian untuk dimiliki. Mereka berbuat dengan prestasi yang patut dibanggakan dan bisa dijadikan bekal dalam menghadapi masalah yang tentu akan dihadapinya di masa mendatang. Mereka sedikitnya akan bisa memilih dan memilah mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik. Semoga mereka merasa bangga dengan melakukan sesuatu yang terbaik dan meninggalkan sesuatu yang dianggapnya salah.
Tata cara guru melakukan demikian untuk mengantarkan anak-anak membiasakan diri berbuat yang terbaik dari yang baik, berbuat yang baik dari yang kurang baik, dan pada akhirnya mereka mampu memilih sendiri perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan untuk dirinya dan untuk orang banyak. Dari masalah ibadah dan amal shaleh mereka mampu menentukan sendiri di masa yang akan datang. Namun sebelum sampai pada upaya mandiri, mereka perlu bimbingan dari guru terlebih dahulu. Di awal anak-anak harus dibantu dalam memilih mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi untuk masa depan kita serahkan kepada mereka sendiri untuk menentukannya.

Prestasi anak-anak patut kita acungi jempol oleh guru dan orang tua. Ibadah dan amal shaleh semata-mata untuk Allah, bukan untuk mendapat penghargaan manusia. Namun dalam konteks ini penghargaan atas prestasi anak menempati prioritas utama. Mereka butuh perlakuan dan penghargaan. Mereka masih perlu membangun harga diri dan citra diri yang positif. Apresiasi kita terhadap prestasi anak menjadi penguatan yang diyakininya sebagai kebenaran. Sebelum anak-anak bisa hidup mandiri, maka guru dan orang tua sebagai pembimbingnya, pengarahnya, dan penolongnya.

Maukah Anda berbuat demikian? Marilah kita sebagai guru, sebagai orang tua untuk mendidik dengan pendekatan yang menyenangkan dan pendekatan yang diperlihatkan dengan perilaku terpuji. Di sinilah pentingnya keteladanan dari para guru dan orang tua dalam mendidik anak-anak. Bukan pendidikan atas kekuasaan seolah-olah anak-anak diperlakukan sama seperti orang dewasa.

0 komentar:

Posting Komentar