Jumat, 16 November 2012

"Ciyus Miapah" Takkan Menggusur Bahasa *)

ranting-basah.blogspot.com/

”Ciyus... miapah! Ha-ha-ha…,” siswi-siswi SMA PGRI 1 Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, tertawa-tawa saat ditanya mengenai bahasa yang sedang populer di kalangan anak-anak seusia mereka.

Selepas pelajaran olahraga, Risna, Upi, dan kawan-kawan duduk-duduk santai sambil menyantap jajanan di warung dekat sekolah. Bahasa semacam itu mereka serap dari iklan di televisi, jejaring sosial, juga sinetron yang populer di kalangan remaja.

”Setiap periode selalu melahirkan ragam bahasa seperti itu. Bahasa semacam itu sudah populer sejak tahun 1970-1980-an yang biasa disebut bahasa prokem,” kata dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Bandung, Nana Suryana.

Kala itu, beredar istilah unik, seperti bokap (ayah), nyokap (ibu), dan doku (uang). Konon orang-orang yang biasa hidup di jalanan sering memakai bahasa prokem, kemudian diadopsi oleh kalangan intelektual, termasuk pelajar dan mahasiswa. ”Dasarnya kalau tidak salah sih (dari) bahasa Betawi,” tutur Nana.

Menurut dia, bahasa gaul yang kini digunakan anak muda, seperti ciyus miapah, merupakan bahasa yang kreatif.

Lebih ekspresif

gambar dari sini
Menurut Fatih Zam, penulis yang alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Padjadjaran, tak masalah masyarakat menggunakan bahasa semacam itu untuk pergaulan sehari-hari. Dengan istilah-istilah itu, masyarakat menjadi lebih ekspresif. Selama ini, ia belum melihat dampak negatif dari penggunaan bahasa itu. ”Saya belum melihat gara-gara ciyus miapah kemudian berantem. Saya kira ini semacam bumbu untuk pertemanan,” tambah penulis novel Khadijah Mahadaya Cinta itu.

Menurut dia, bahasa digunakan sesuai kesepakatan dan bahasa bersifat menjembatani, bukan mempersulit.

”Bahasa adalah produk budaya. Jika ingin melihat kondisi suatu zaman, lihatlah produk budayanya. Kita bisa melihat salah satu dampak dari fenomena ini,” kata Fatih. Ia mencontohkan, sebuah jasa penyedia telekomunikasi (provider) menggunakan istilah itu pada iklan karena melihat budaya yang sedang berlangsung di masyarakat. ”Bahasa dan produk budaya merupakan sesuatu yang saling memberi timbal balik. Bahasa bisa melahirkan budaya, budaya bisa memunculkan bahasa,” imbuhnya.

Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri Jatinangor, Tuti Surtini, beranggapan, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus tetap dipertahankan sesuai situasi si pemakai bahasa. Tuti mengaku pernah menggunakan istilah semacam itu di kelas saat situasi tidak begitu formal.

”Untuk mencairkan suasana saja, lah,” tambahnya seraya tersenyum.

Nana Suryana kembali menambahkan, bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah diajarkan di lingkungan instansi pendidikan formal. Ia berharap masyarakat sudah mengerti bagaimana memosisikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tempat yang tepat. Jika sedang pergi ke mal, ia menggunakan bahasa nonformal. Tidak manusiawi jika sedang di mal dan bertemu dengan mahasiswa, ia menyapa, ”Hai mahasiswaku, sedang apakah?”

Nana mengimbau untuk tak perlu risau dengan keberadaan istilah-istilah yang terus berkembang ini. Penggunaan bahasa alay tidak akan menggerus kelestarian sumpah pemuda. Justru yang mengancam penggunaan bahasa yang satu, bahasa Indonesia, adalah bahasa asing yang semakin merasuk ke dalam ranah komunikasi rakyat Indonesia. Masyarakat seperti salah kaprah, menganggap bahwa bahasa asing itu keren, sementara bahasa Indonesia kuno.

Bahasa pemersatu kita tetap bahasa Indonesia. Bahasa alay ataupun prokem hanyalah bersifat temporer dan akan terus berganti. Fatih menyatakan, keragaman bahasa seharusnya disyukuri. ”Ngindung ka waktu ngabapa ka zaman.” Begitulah istilah Sunda yang menurut dia tepat untuk menanggapi hal itu. ”Artinya, harus menyesuaikan dengan waktu dan zaman,” tuturnya.


(EVY APRILIA RAMADANINGTYAS Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat)

*) muat di suplemen Kampus, HU Kompas rubrik Mudarers, Selasa 13 November 2012, di sini
0 komentar
Label: Art-Culture
Kamis, November 08, 2012
Binatang Punya Gaya
2 comments

gambar dari sini

Bayangin kalo binatang punya media social semacam Facebook dan sejenisnya. Kira-kira, mereka bakal update status kayak apaan ya?
Yuk intip :p
Anjing Pudel: "Nunggu dijemput majikan, mo ke salon neeh..."

Kecoa: "Baru aja selamet dari injekan maut..."

Sapi: "Huh, sebel .Susuku diraba-raba lagi sama majikanku, dikira gua jablay apa. Damn!!"

Kucing: "Anak gue yang ke-7 barusan nanya siapa bapaknya. Gue bingung mau jawab apa,
gue sendiri lupa bapaknya siapa..."

Nyamuk: "Gue positif HIV AIDS, gara-gara salah isep. Hiks!"

Ayam: "Teman-teman, kalo besok gue gak update, berarti gue di KFC, luv u all.."

CumiCumi: "Abis isi ulang tinta neeh..."

Babi : "Gue difitnah nyebarin flu, sialan.."

Kutu: "Salah masuk rambut nih, kok bau pesing!!

Kambing: "Jangan ke luar rumah friends, bentar lg idul adha..!!"
Babi (comments) status Kambing: "Untung gue harammm"

Kambing bales komen:
"Abis idul adha kan imlek bro, lo lupa?!!"
=))...=))...αKαKαKα..."

Monyet: "Terus gue harus bilang woow gitu liat status lo semua!!!"

2 komentar
Label: gelak
Pindang Ibu Tumpah ke Tanah
0 comments

Tuhan, aku ingin bercerita kepada-Mu. Sebab tak ada yang lebih peka dan merasa, selain diri-Mu. Ah, mungkin aku terlalu sentimentil, sehingga aku seolah lupa bahwa Engkau Mahatahu. Engkau sudah mengetahui apa-apa yang ada dalam diriku. Bahkan sesuatu yang belum sempat kuucapkan. Biarlah Tuhan. Biar aku bercerita kepada-Mu setelah tak satu pun orang di muka bumi ini kupercayakan mendengar hatiku yang gemeretak.

gambar dari sini
Pertama-tama, aku ingin bercerita tentang seorang lelaki, Tuhan. Seorang lelaki yang telah membersamaiku sepanjang 23 tahun. Seorang lelaki yang menemani hari-hariku. Seorang lelaki yang berbagi sepotong tikar pandan di kala tidur. Seorang lelaki yang bertukar air mata di kala kami menangis. Dia adikku, Tuhan. Adik yang kusayangi di dalam diamku. Adik yang betapapun sayang aku kepadanya, tak sekalipun kata itu didengar langsung olehnya.

Betapapun kepergiannya sudah Engkau takdirkan semacam itu. Duhai Tuhan, hatiku justru redam dengan kesedihan yang menaungi sepasang lelaki dan perempuan yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan adikku itu. Orang tuaku.

Sepanjang napasku, baru kali inilah kusaksikan sendiri ayahku menangis. Air matanya bahkan tumpah di dadaku. Tangannya yang tak lagi kekar makin layu. Wajahnya yang tirus makin tak menampakkan ekspresi. Sepanjang hari ia bermuram durja. Kala berjalan, lututnya serasa dilolosi. Sejauh mata memandang, ia hanya sanggup melihat wajah dan sosok anak bungsunya yang telah Engkau panggil.

Lalu ibuku. Perempuan embun itu pun menangis di dadaku. Air matanya laksana tetes yang membelah batu. Dadaku rengkah. Sedayanya kutahan agar tanggul air mata tak jebol. Ingin kukuatkan diri, semata agar menular kepada ibuku. Tapi aku terlampau lemah Tuhan. Hingga ibu yang simpuh di dadaku, kusiram dengan air mata duka dan penyesalan.

“Baru 2 jam Arif bersama ibu. Kami menikmati santap pagi. Arif bahkan memuji pindang buatan ibu. Anak bungsu ibu, sehat dan besar badannya, tidak lama setelah sarapan telah pulang menemui ibu dengan cara seperti itu. Jasadnya diusung banyak orang.”

Pindang buatan ibu pun tumpah ke tanah.

Menyimak cerita ibu di sela isaknya, aku hanya sanggup mengeratkan tangan yang tengah merengkuh tubuh ringkihnya. Sambil membayangkan peristiwa semacam apa yang mengawali adikku meregang nyawa.
Sungguh sebuah perpisahan yang tidak diharapkan ibu. Perpisahan yang begitu mengguncangkan. Pagi hari sarapan bersama, siang hari pulang dalam keadaan sudah tak bernyawa.

Aku ingin sekali berteriak bahwa Engkau sudah tak adil kepada kami. Aku ingin sekali berteriak lantang, “Mengapa kami Kau uji semacam ini, Tuhan?”

Tapi kemurahan-Mu telah mengantarkan makna kepadaku. Bahwa ketika ingin kuteriakkan kalimat lancang semacam itu, Engkau telah mendahuluiku. Engkau seumpama berkata, “Mengapa bukan kau yang Aku uji seperti ini? Mengapa bukan keluargamu yang Ku-uji sedemikian?”

Tuhan, maafkan kelancanganku. Maaf atas ketaktahu-dirianku. Maaf atas segala nikmat-Mu yang sejenak terlupa dengan ujian-Mu yang sebenarnya lebih kecil dan sedikit ketimbang nikmat-nikmat yang telah Engkau berikan.

Maka Tuhan, tak putus doaku kepada-Mu. Agar Engkau mengganti kepergian adikku itu dengan iman dan takwa yang semakin kuat. Agar engkau menanamkan ikhlas ke hati-hati kami. Agar Engkau memberikan kesadaran kepada kami, bahwa takdirmu tak bisa kami lawan, dan bahwa hanya kepada-Mu kami menggantungkan segala harapan.

Tuhan, terimalah adikku di sisi-Mu. Maafkan segala khilafnya. Terimalah kebaikan-kebaikannya sebagai cenderamata dalam menghadap-Mu. Tuhan, tabahkan hati ibu dan ayahku. Ikhlaskan mereka. Dan jadikan aku pelipur lara bagi mereka.

Duhai Tuhan, terima kasih telah mendengar ceritaku ini.

Al Furqon, dini hari
0 komentar
Label: soulmind
Rabu, November 07, 2012
Ijab Qabul
4 comments

“Saya terima nikahnya “si dia” binti “ayahnya” dengan mas kawin….”

Singkat, padat, jelas. Tapi di balik itu, ada tanggung jawab yang maha-besar.

“Maka aku tanggung dosa-dosanya “si dia” dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan shalat. Semua yang berhubungan degan “si dia”, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku.”

Jika aku GAGAL?

gambar dari sini
“Maka aku adalah suami yang fasik, ingkar, dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku.” (HR. Muslim)

Astaghfirallah. Benar adanya bahwa ijab-qabul adalah perjanjian yang maha-berat (mitsaqan ghaliza)—bahkan bisa mengguncang Arsy.

Duhai Allah, mampukan kami menjadi suami yang baik. Ikhlaskan hati kami untuk menjadi istri yang shalihah….
4 komentar
Label: tausyiah
Filosofi Hidup Dilihat dari "Cara Makan Tahu" *)
0 comments
Menurut orang Sumedang, ternyata jenis kepribadian orang bisa dinilai dari caranya 'makan tahu'. Ini dia contoh-contohnya:
gambar dari sini

KONSERVATIF : gigit tahu dulu, baru gigit cabe.
PROGRESIF : gigit cabe dulu, baru gigit tahu.
SPEKULATIF : begitu nemu cabe langsung main gigit dengan harapan di dekat sana akan ada tahu
IMAJINATIF : belum gigit cabe sudah kepedesan.
OPTIMIS : yakin tahu akan segera muncul, sambil nunggu, ngemil cabe dulu
PERMISIF : tahunya dicomot orang, diem aja.
MASOKIS : gigit cabe 10 biji gak pake tahu.
OBSESIF-KOMPULSIF : sebelum makan dihitung dulu biar yakin jumlah tahunya sama dengan jumlah cabenya.
MANIPULATIF : nyepik tukang tahu biar dapet gratisan
DRAMATIS : abis makan tahu pake cabe nangis kepedesan, terus ngesot sambil meratap ke dispenser air.
EKSIBISIONIS : sebelum makan bilang ke orang sebelah, “Lihat deh, gue mau makan tahu pake cabe”.
KAPITALIS : tahunya dimakan, cabenya ditanam supaya nanti kalau tumbuh bisa dijual.
FANATIK : kalau ketemu orang yang cara makan tahunya beda, marah.
KRITIS : nanya, “kenapa sih kita harus makan tahu pake cabe?”
MELANKOLIS : udah gigit cabe, eh pas mau gigit tahu kesenggol orang. Tahunya jatuh. Nangis.
KUPER : gak berani makan tahu karena abis nerima BM tentang “Bahayanya Makan Tahu Pake Cabe”.

*) Oleh Nuval Kun Maliki, diambil dari sini
0 komentar
Label: gelak
Permintaan Maaf Majapahit *)
1 comments
Ini berita mencengangkan dan spektakuler. Bila tak ada aral melintang, di komplek situs Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 11-12 November 2012, akan ada ritus ucapan permohonan maaf trah (keturunan) Majapahit pada Kerajaan Sunda atas tragedi Bubat pada 1267. Permohonan maaf akan diucapkan pada keturunan Pajajaran. Wakil dari trah Pajajaran yang menerima undangan resmi adalah Ir. Raden Roza Rahmadjasa Mintaredja IAI Sri Paduka Wangsa Nata Kusumah dari Lembaga Adat Keraton Padjadjaran.


ilustrasi Perang Bubat pada cover novel Gajah Mada LKH, dari sini
Di kalangan warga Sunda yang terlanjur tahu rencana ini, tentu mendatangkan komentar beragam. Ada yang berpendapat, bila benar pihak Majapahit akan mengajukan permohonan maaf atas tragedi di Bubat sekitar 1357 Masehi, mengapa disampaikan kepada “trah Pajajaran” dan bukannya kepada “trah Kerajaan Galuh”. Bukankah dulu peristiwa Bubat berlangsung tatkala penguasa Sunda adalah Prabu Linggabuana yang notabene penguasa Kerajaan Galuh? Bukankah peristiwa di Bubat itu merupakan pertikaian Majapahit dan Galuh? Dikatakan oleh mereka bahwa tatkala perang Bubat berlangsung, Pajajaran belum ada, sebab baru didirikan pada 1482 Masehi.

Namun, ada juga yang memaklumi, mengapa permohonan maaf oleh pihak trah Majapahit atas tragedi Bubat akan dilakukan pada trah Pajajaran. Berdasarkan catatan sejarah yang diakui, selepas Prabu Jayadewata dinobatkan sebagai raja (dan kemudian berjuluk Sri Baduka Maharaja) pada 1482 Masehi, telah terjadi fusi dari dua kerajaan besar di tanah Sunda. Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dipersatukan/dilebur, maka terbentuklah Kerajaan Pajajaran.

Sebetulnya ritus di Trowulan bukan itu saja. Mungkin upacara puncak di sana adalah peringatan Hari Kelahiran Kerajaan Majapahit yang ke-719 dan HUT ke-4 The Sukarno Centre Tampaksiring, dilaksanakan pada 11-12 November 2012 di wilayah Jawa Timur. Dalam kegiatan itu akan ada ritual permohonan maaf dari trah Majapahit kepada trah Pajajaran atas tragedi Bubat dan mereka menyebutnya sebagai upacara “Ritual Guru Piduka Persatuan Trah Majapahit dan Trah Pajajaran”. Bertempat di Situs Keraton Majapahit, Trowulan, Mojokerto. Upacara ini bisa disebut berskala besar sebab akan dihadiri oleh kelompok-kelompok penting. Selain seluruh raja dan sultan di nusantara diundang, juga akan hadir pejabat dari jajaran Pemerintah Pusat.

Akan berujung pada nuansa politikkah kelak, mengingat 2014 sudah dekat? Tidak jelas benar. Namun, yang patut disimak, bahwa tahun-tahun belakangan ini, memang ada upaya mempersatukan dan mempererat tali silaturahmi di antara sesama keraton nusantara. Sudah beberapa kali berlangsung, pertemuan di antara raja-raja dan sultan nusantara, bahkan kalau sekadar festival budaya keraton nusantara, sudah beberapa kali diselenggarakan.

Para raja/sultan sudah sepakat, harus ada persatuan dan persaudaraan yang lekat di sesame raja/sultan di nusantara termasuk para rahnya. Persaudaraan dan persatuan antaa trah Majapahit dan Sunda (diwakili oleh trah Pajajaran) merupakan catatan khusus yang harus lekas dilakukan.

Mungkin “upacara permohonan maaf atas tragedi Bubat”, mengingat peristiwa lama ini sepertinya masih tetap jadi “ganjalan” bagi mereka yang fanatik dan selalu menyimak kisah-kisah Bubat di naskah Kidung Sunda misalnya, akan tetap merasakan kepiluannya dan ini dirasakan akan “mengganggu” usaha-usaha persatuan bangsa, termasuk persatuan sesama keraton nusantara.

Tentu, orang Sunda yang fanatik selalu menyimak kisah dalam naskah Kidung Sundayana akan selalu bersedih dan memendam dendam. Betapa tidak, dalam versi naskah ini, disebutkan Gajam Mada yang serakah dan ambisius telah meluluhlantakkan kehormatan orang Sunda. Karena putri Dyah Pitaloka harus dijadikan upeti dan tidak untuk menjadi permaisuri, maka timbul pertempuran yang tidak seimbang di Lapangan Bubat. Prabu Linggabuana Raja Kerajaan Galuh gugur dan putrinya bunuh diri. Sekurang-kurangnya begitu kata naskah Kidung Sundayana. Bila orang Sunda fanatik membacanya, tak pelak kebencian timbul terhadap Jawa. Ratusan tahun lamanya tatar Sunda tak kerasan dengan nama-nama Gajah Mada, Majapahit, atau Hayam Wuruk.

Demi persatuan NKRI itulah mungkin akan dilangsungkan upacara permohonan maaf. Bila peristiwa ini jadi berlangsung, kemungkinan yang melakukan upacara “Ritual Guru Piduka” adalah Raja Muda Kerajaan Majapahit Sri I Gusti Ngurah Arya Wedakrama MWS III terhadap Raden Roza Rahmadjasa Mintaredja IAI Sri Paduka Wangsa Nata Kusumah sebagai wakil dari trah Pajajaran.

Semua semata-mata hanya untuk keutuhan NKRI dan tak ada agenda politik. Namun, bila seluruh trah keraton nusantara bersatu, tidak mustahil akan menjadi kekuatan politik yang andal. Bukankah sudah dibuktikan bahwa hanya di kalangan pencinta keraton saja masyarakat memiliki fanatisme tanpa syarat?

Ayo, semua calon penguasa negeri ini, berlomba-lombalah mendekati para raja nusantara, hehehe.


*) Oleh Aan Merdeka Permana, novelis dan pengamat sejarah
* Sumber: HU Pikiran Rakyat, edisi Selasa 6 November 2012, hal. 26
1 komentar
Label: Art-Culture

0 komentar:

Posting Komentar