Selasa, 29 Mei 2012

HIDUP ITU PENUH KEINDAHAN
(Jajang Suhendi, Cikedal-Pandeglang)

Kita tahu bahwa keindahan itu sangat dicintai Allah, sesuai dengan Asmaul Husna sangatlah indah bisa diucapkan dalam doa, dalam perasan, dan dalam pikiran kita. Apalagi kalau kita praktekkan menjadi perilaku kita sehari-hari. Tidak mungkin bagi Allah menyukai hal-hal yang tidak indah dilihat, dirasakan, dan dipraktekkan makhluk-Nya. Ini prinsip bahwa hidup adalah keindahan bukan ketidak-indahan, sebab hidup tidak indah itu bukan kehendak-Nya.
Pada bulan Ramadhan harus diisi dengan berbagai perasaan, pikiran, dan perbuatan yang indah-indah. Kita berpuasa dengan menahan haus dan dahaga dengan waktu yang telah ditentukannya. Apalagi kita harus menahan diri dari segala hal yang dilarang agama Islam. Puasa, shalat taraweh, doa, dzikir, dan membaca Al-Quran dilakukan dengan penuh perasaan indah. Di dalam hati dan pikiran tidak ada lagi hal-hal yang tidak indah.
Kita membaca Al-Quran dengan suara yang indah, tetapi bukan lupa pada makna yang terkandung di balik ayat-ayat itu. Indah dalam arti kaya akan makna yang dipahami, dihayati, dan dilakukannya. Dalam melaksakan tugas dan kewajiban dengan inti keindahan. Disiplin itu indah, oleh karena itu pelaksanaan tugas dan kewajiban dengan penuh kedisiplinan itu merupakan keindahan.
Bagaimana dengan musibah, kesengsaraan, kemiskinan, kecelakaan, dan apa saja yang termasuk hal-hal yang tidak disukai manusia pada umumnya itu keindahan? Bagi orang-orang yang sudah tinggi tingkatan takwanya hal-hal tersebut dihadapinya dengan keindahan. Saat nanti di akhirat akan dirasakan hasilnya yaitu balasan Surga bagi mereka. Keyakinannya teguh walaupun saat ini mereka menderita sakit dengan keadaan tersebut.
Orang-orang yang tinggi tingkatan takwanya tidak merasa sedih atau sakit ketika disiksa pihak lawan yang membencinya. Benar-benar keadaan itu kalah oleh hatinya yang fokus pada balasan bahwa hal itu dianggapnya baik. Begitu juga keadaan yang tidak kenal kompromi kepadanya, banyak utang dan ditagih dengan cara kasar, mereka tetap kuat dengan keyakinan bahwa dirinya benar dalam kesabaran dan keteguhan hati. Oleh karena itu tidak ada lagi perasaan sakit, sedih, dan khawatir akan hal itu.
Kita rasakan kebahagian di hati walaupun datangnya sekilas. Kebahagiaan tersebut memang datangnya dari cahaya Tuhan untuk kita yang bisa menangkapnya. Perasaan tersebut harus kita temukan. Sebagaimana Ali Ath-Thontowi dalam bukunya Menemukan Lailatul Qadar ( 1992: 7-31) mengatakan bahwa kilatan kebahagiaan di hati merupakan Lailatul Qadar. Dapat kita ringkas inti dari buku karya beliau.
Tempo sekejap yang terjadi memberikan kebahagiaan yang abadi bagi yang merasakannya. Setelah kita menyadari bahwa makan makanan yang lezat, pakaian yang indah, rumah bagus dan megah ternyata tidak bisa diandalkan. Semua ada kekurangan setelah semuanya berakhir karena rusak, sudah ketinggalan zaman atau batas akhir mode. Besarnya gaji atau pendapatan setiap bulan, misalnya, ternyata ada batasnya. Sebelum kita menjadi pegawai ingin mendapat gaji yang besar dan setelah terlaksana ternyata tidak membahagiakannya.
Apa yang kita capai seperti yang diuraikan di atas ternyata bukan kebahagiaan yang sejati, karena bersifat material. Di balik semua yang nyata ada alam ruh. Alam ruh bersifat gaib kita tidak dapat melihat dan mengetahuinya. Di sini hanya satu hal saja, yaitu perasaan yakin di balik semua itu ada hikmahnya. Kita tidak tahu hikmah dari ruh, tetapi kita harus merasa rindu terhadapnya.
Kita baca orang-orang kaya yang mendapatkan kenikmatan material kapan saja mereka suka, mereka tidak merasa bahagia dan merasa hampa. Mereka melupakan Allah dan melupakan dirinya terjerumus ke jurang kenistaan dibiarkannya. Itu bukan kasih dan sayang terhadap dirinya, tetapi malah mencelakakan dan tipuan belaka. “ Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri “
( Q.S. Al-Hasyr: 19 )
Sudah merasa bosan dengan kenikmatan materi yang disangkanya akan membahagiakan, maka kita coba menyelusuru kenikmatan demi kenikmatan ruhani. Ternyata kita bisa mendapatkan hanya sekilas saja. Seperti kita sedang berada di dalam suatu penjara yang udaranya mandeg, baunya pengap, lalu berhembuslah angin sepoi segar sekilas yang membangkitkan semangat.
Gambaran sepintas itu memberi kebahagiaan dan kenikmatan yang tidak bisa diukur dengan apapun. Itu suatu kesempatan yang harus kita rasakan bahwa itu kesempatan kita bisa berhubungan dengan Allah yang menciptakan dan menyukai kebahagiaan. Seberkas manisnya iman, seperti dapat kita perhatikan pengalaman sewaktu penulis mendapat cacian dari orang yang menagih utang, di hati ada yang masuk dengan suara lirih, “ Janganlah kamu bersedih, orang itu tidak mengerti dan sedang labil psikisnya. Terimalah itu sebagai cambuk agar kamu lebih kuat menerima tempaan. Golok bisa terwujud dari besi yang dibakar dan ditempa benda keras berulang kali.”
Secara spontan tiba-tiba penulis merasakan kesejukan, ketentraman batin, suatu perasaan lega dan kenikmatan yang tiada bandingnya. Rasa sakit hati yang penulis alami lenyap seketika, berubah menjadi kesejukan jiwa yang amat nikmat, tadinya marah hilang bagaikan bara api disiram air. Perasaan penulis yakin bahwa Allah lebih mengetahui maksud di balik kejadian itu. Betapa saat yang sekejap itu telah mendekatkan diri penulis kepada Allah, jauh lebih nikmat daripada banyak ibadah.
Sebenarnya banyak kejadian aneh yang penulis rasakan ketika sedang banyak masalah, seperti bingung karena tidak punya uang, banyak utang yang harus dibayar, dan berbagai kebutuhan belum bisa tercukupi. Menyiram bunga di depan rumah sambil menikmati indahnya bunga-bunga itu walaupun tidak seindah bunga-bunga di taman buah, ada perasaan bahagia dan menyejukkan hati. Keesokan harinya masalah itu ada solusinya.
Perasaan bahagia dan senang bisa datang saat kita mendengar alunan musik, suara orang sedang mengaji, ceramah atau saat kita membaca buku atau bahan bacaan lainnya. Kita merasa sedang merasakan bahagia karena seolah-olah sedang menjadi orang besar penuh kebahagiaan yang sejati. Sangat penting kita menghidupkan perasaan seperti itu. Dari pada kita merasakan sesuatu yang menyakitkan, menyedihkan, atau perasaan negatif lainnya lebih baik kita merasakan kebahagiaan karena datangnya dari Allah.














0 komentar:

Posting Komentar