Selasa, 29 Mei 2012

MENULIS DENGAN HATI
(Jajang Suhendi, Cikedal-Pandeglang)

Bagiku menulis ibarat berlatih naik sepeda sewaktu aku masih kecil. Bukan aku mempelajari atau bertanya bagaimana agar aku bisa naik sepeda dengan lancar. Memang aku sering bertanya bagaimana caranya aku supaya bisa naik sepeda dengan lancar. Ternyata hasil dari bertanya aku praktekkan naik sepeda. Aku sering jatuh tidak langsung bisa naik sepeda tersebut. Aku bosan dengan bertanya bagaimana cara naik sepeda yang baik. Aku langsung berlatih naik sepeda sendiri di halaman rumah. Mulai aku berlatih menuntun sepeda dari dalam rumah ke luar rumah. Berangsur-angsur aku naik sepeda hanya beberapa meter saja. Aku tingkatkan jaraknya menjadi dua meter, tiga meter, dan seterusnya sampai terasa aku tidak takut lagi mencoba naik sepeda. Semakin sering aku berlatih, maka semakin aku berani naik sepeda. Tidak lama waktu aku berlatih naik sepeda, kurang lebih satu minggu aku sudah lancar naik sepedaku.
Yang paling berkesan dalam kegiatan menulis dari dulu sampai sekarang adalah menulis dengan perasaan yang mendalam. Berbeda ketika aku menulis makalah atau skripsi, rasanya menulis tidak menggunakan hati terdalamku. Rasanya kegiatan menulis seperti itu tidak membuatku senang dan bersemangat untuk menulis. Menulis yang diawali dengan mempelajari teori orang lain, bukan berdasarkan masalah yang aku hadapi, ternyata sulit aku menulis yang banyak dan semangat yang tinggi. Hanya baru beberapa paragraf saja aku sudah malas untuk meneruskan tulisan tersebut. Kertas bekas bertumpuk-tumpuk dan akhrnya aku buang, aku bakar atau aku jual dengan harga yang sangat murah. Begitu kejadian tersebut cukup lama. Bertahun-tahun aku menulis tidak menghasilkan tulisan yang diterima media cetak. Adapun sekarang tulisanku tidak tampil lagi di majalah Warta Winaya Pandeglang bukan tulisanku tidak diterima, tetapi aku sengaja tidak mengirimkannya. Maksudnya aku menulis sebanyak mungkin dan nanti aku akan kirimkan sekaligus sebanyak-banyaknya untuk banyak media cetak yang ada di lingkungan pendidikan tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat.
Selama bulan ramadhan kemarin aku mampu menulis lima puluh judul artikel. Itupun tidak aku lakukan setiap hari atau malam. Mudah-mudahan semangat menulisku semakin hari semakin bertambah terus. Kuncinya aku menulis dengan hati yang terdalam, bukan dengan pikiran dan pendapat orang lain. Menulis dengan hati berarti menulis memakai perasaan, baik perasaan positif maupun perasaan negatif. Kondisi terpurukpun aku tetap menulis dengan semangat yang tinggi. Walaupun omongan orang bertubi-tubi menerjang telingaku tetap aku bersemangat untuk menulis dengan perasaan kesal, takut, khawatir, dan perasaan negatif lainnya. Ternyata menulis dengan hati yang kesal, misalnya, hatiku malah sebaliknya menjadi tenang dan nyaman. Alhamdulillah menulis dengan perasaan bukan menambah perasaan negatifnya , tetapi kondisi pikiran dan perasaanku semakin membaik. Menulis semacam terapi penyembuhan bagiku.
Aku bisa menulis dengan hati, maka setiap orangpun bisa menulis dengan hati selama mereka merasa penting tentang menulis tersebut. Pertama-tama dalam hati kita ada perasaan senang, perasaan penting, perasaan bermanfaat, dan perasaan positif lainnya sebelum dan ketika menulis. Ada istilah “Tak kenal maka tak sayang.” Memang benar sebelum kita kenal terhadap apapun tidak akan senang kita jadinya. Kenali dulu tentang menulis tersebut sebelum kita lebih menyenanginya. Setiap orang bisa menjadi penulis. Bukan teori yang membuat kita terampil menulis, tetapi latihanlah yang membuat kita terampil. Latihan menulis secara terus-menerus, betahap, dan komitmen melakukannya akan menjadi kebiasaan yang baik. Menulis ibarat berenang juga. Apabila kita sering menceburkan diri ke dasar lautan kata-kata, membaca buku atau tulisan yang berkualitas untuk dibaca, dan meramunya ke dalam tulisan sendiri, maka keberhasilan menulis tidak akan terlalu lama.
Yang membuat kita mau menulis, di antaranya adalah memahami tujuan sebelum kita mulai menulis. Alasan kuat mengapa kita menulis harus sudah terpateri di dalam hati dan pikiran kita. Tujuan menulis adalah melakukan komunikasi untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, informasi dan uneg-uneg kepada diri sendiri dan orang lain. Menulis bertujuan memberi pencerahan kepada sesama orang, tetapi pada awalnya untuk memberi pencerahan kepada diri sendir. Pada awalnya semacam rahasia pribadi. Namun untuk apa kita menulis apabila tujuannya diri sendiri melulu, kalau tidak bermanfaat untuk orang lain rasanya kurang bermanfaat yang meluas. Menulis semacam ibadah lewat tulisan. Apabila sudah termasuk ibadah kita akan mendapatkan banyak manfaat yang bisa menyelamtkan diri kita di dunia dan di akhiratnya. Sungguh membahagiakan kegiatan menulis sudah termasuk kategori ibadah.
Menulis merupakan kerja intelektual yang membutuhkan keterampilan khusus, latihan yang tidak kenal lelah, kejelian, daya rasa, daya nalar, prediksi, referensi, etika, waktu, dan kesabaran sebelum tercapai apa yang menjadi tujuannya. Namun tidak perlu kita sempurna seawall mungkin. Untuk memiliki kelengkapan unsure-unsur intelektual tidak perlu mencapai secara ideal. Biarkan saja pikiran kita mengembara, biarkan perasaan kita menelusuri kedalaman hati, menulis dengan hatilah yang terpenting kita buktikan seawall mungkin. Modal dasar bagi penulis adalah semangat, dorongan, niat, dan kesungguhan hati untuk menambah wawasan ilmu dan pengalaman. Membaca buku dan tulisan berharga, atau membaca tulisan yang sudah dikhususkan dalam satu disiplin ilmu. Bagi para guru menulis bidang pembelajaran atau pendidikan akan lebih mengena daripada menulis bidang ekonomi misalnya. Sebab, apabila seorang guru menulis bukan bidangnya pembahasannya akan mengambang.
Dalam menulis kita tentu harus menentukan tema terlebih dulu, idenya bisa didapatkan dari bahan bacaan dan sekarang bisa didapatkan di dalam internet. Bertebaran di berbagai situs dan blog tulisan sebagai sumber literatur kepenulisan kita. Sungguh disayangkan banyak mahasiswa, guru, dan kaum intelektual yang membiarkan internet tidak digunakan sebagai media pencerahan wawasan dan hidup kita. saja. Untuk mengembangkan ide-ide atau gagasan, kita cari rujukan atau referensinya. Untuk langsung menulis, sebagian orang terlebih dulu membuat outline atau langsung terjun tanpa outline secara tertulis. Apabila sudah terbiasa menulis semua outline sudah siap di kepala dan di hati, percayalah. Kita jangan mengarapkan tulisan kita langsung bagus atau langsung jadi dan dikirim ke media cetak. Bagi kita tulis saja dulu apa yang ada di hati dan pikiran kita saat itu. Biarkan kita menulis bagaikan air mengalir. Setelah itu, lakukan penulisan ulang sekaligus revisi sendiri atau pengeditan sendiri.
Kunci sukses penulis, selain banyak membaca dan selalu berpikir kreatif, adalah perlunya latihan, latihan, dan latihan. Jika tulisan kita tak kunjung dimuat di media massa, bukan berarti kita tidak mempunyai bakat menulis, Jangan pernah berhenti menulis gara-gara tidak diterima penerbit atau media cetak. Terus saja menulis, paling tidak, di samping kita mengasah keterampilan menulis dan daya nalar, kita dapat merekam pemikiran sendiri pada saat menulis. Lagi pula tidak semua penulis berniat mempublikasikan tulisannya, boleh jadi niat awalnya sekadar menuangkan ide kreatif yang terus memenuhi pikirannya, atau sekadar menuangkan hobi. Namun jika ternyata ada kesempatan untuk mempublikasikannya di media atau dalam bentuk buku, itu suatu anugerah.
Pada kesempatan ini, saya perlu menyampaikan beberapa kita menulis yang diambil dari beberapa sumber, terutama dari orang yang bergelut di bidang kepenulisan. Sebelum menulis kita harus memperhatikan kegiatan (1) menggali ide, (2) menguji ide, (3) mengumpulkan bahan, dan (4) mulai menulis dengan hati dan pikiran kita. Menggali ide, sumber ide antara lain bacaan, pengamatan, pengalaman, pendapat, obrolan, pengetahuan, perasaan, keinginan, dan tontonan. Kebanyakan ide muncul ketika kita membaca berita di koran atau melihatnya di televisi. Dari sanalah kita bisa memunculkan tema-tema aktual dan menarik.
Menguji ide, apakah ide-ide itu actual, berguna bagi khalayak, cukup pengetahua dan bahan bacaannya untuk mengembangkan ide-ide dalam sebuah tulisan, danide-ide itu sesuai dengan visi dan misi media cetak? Mengumpulkan bahan, setelah mendapatkan ide untuk menulis, maka siapkan bahan-bahan (referensi) yang dapat mendukung pengembangan ide tersebut menjadi sebuah tulisan , antara lain; buku, kumpulan artikel, kliping di koran tentang masalah yang akan kita tulis itu. Di sinilah pentingnya kita memiliki perpustakaan pribadi atau kliping koran atau majalah. Mulai menulis, bagi penulis pemula, ketika mulai menulis, jangan memikirkan bagaiman menulis dengan tulisan bagus. Langsung saja tuliskan apa yang ada di pikiran dengan gaya bebas, layaknya menulis surat, mengisi buku harian, atau menulis jawaban soal ujian di bangku sekolah/kuliah. Biarkan mengalir. Ada pepatah, “ semua tulisan pertama pasti kacau balau. Janganlah tunggu sampai kita dapat menulis kalimat atau bab-bab yang sempurna, atau ungkapan-ungkapan yang sempurna. Janganlah kecewa jika kita gagal untuk menghasilkan kualitas yang tinggi dalam tulisan pertama. Pokoknya teruslah kita memulainya.

Kita bisa berlatih dengan rajin menulis dalam buku harian, atau saat ini banyak orang memanfaatkan fasilitas blogger sebagai pengganti buku harian. Di pagi hari, atau sebelum pulang kantor/kuliah, kita ceritakan aktivitas harian yang menarik, dan komentar tentang pengalaman menarik hari itu. Boleh juga sesekali menulis surat pembaca, atau mengomentari tulisan, artikel di media, atau sekadar tulisan di blog orang lain. Agar tulisan kita runtut, buatlah dulu garis besar isi tulisan mulai dari pendahuluan, pokok bahasan, hingga penutupnya. Tentukan tujuan kita menulis, siapa pembacanya, dan topik tulisannya. Secara umum, tahap-tahap menulis adalah menentukan topik; didapat dengan mencari ide lewat bacaan, pendengaran, perasaan atau perenungan, membuat outline; menulis bebas tanpa ikatan outline atau sumber literatur, kemudian lakukan penulisan sesuai outline; penulisan ulang sesuai dengan referensi; dan pengeditan sendiri dengan perbaikan atau penambahan untuk kata-kata yang tidak perlu ditulis dan tidak bermakna, dan sebagainya.
Apabila kita ingin mengeluti profesi sebagai penulis harus memiliki tekad dan keuletan, kesabaran dalam meraih keinginannya. Menulis adalah seni. Untuk menjadi penulis profesional kita harus merencanakan berlatih menulis secara sungguh-sungguh, seperti seorang pemain sepak bola yang ingin tampil prima di lapangan, maka perlu latihan yang sungguh-sungguh dan konsisten melakukannya. Saat penulis AC. Spectorsky (1959) memberi tugas bagi penulis pemula, yang ia tugaskan bukan menulis, melainkan meluangkan waktu untuk menyepi, lalu merenung, berpikir sepanjang hari, dan bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya akan menjadi penulis?”. Hal itu dilakukan, “karena banyak orang yang ingin jadi penulis, namun hanya beberapa yang benar-benar mau menulis,” ungkap Spectorsky.
Kemauan atau ambisi untuk dapat menulis (menjadi penulis) akan menimbulkan semangat, keuletan, dan mendorong seseorang melakukan apa saja yang memungkinkannya mencapai kemampuan menulis. Misalnya mengikuti pelatihan jurnalistik, membaca buku-buku petunjuk menulis, berlatih dan sebagainya. Di sini berlaku papatah, “di mana ada kemauan di situ ada jalan” atau “siapa yang sungguh-sungguh pasti mampu mewujudkannya”. Jangankan penulis pemula, penulis yang “sudah jadi penulis” pun jika tidak ada kemauan, tidak akan membuat tulisan/artikel.


0 komentar:

Posting Komentar