Selasa, 29 Mei 2012

MENUNJUKKAN KARAKTER BANGSA

(Jajang Suhendi, Cikedal-Pandeglang)

Mana buktinya orang yang telah bercirikan karakter bangsa pada saat-saat ini? Aku belum mampu menunjukkan karakter bangsa yang memadai walaupun aku bekerja sudah mencapai tigapuluhtahunan. Ada beberapa hal yang menyebabkan aku lemah dalam karakter. Di antaranya, aku terbiasa hidup dengan orang-orang yang tidak berkarakter bangsa. Misalnya, aku dan keluarga dalam berbicara dengan bahasa yang kasar, setiap pagi belum semua berlaku sopan santun, bersalaman dengan istri ketika akan pergi dan setelah dating dari pekerjaan. Mungkin hal tersebut masih belum terbiasa.

Namun aku dengan anak yang kedua dan ketiga sudah membiasakannya terutama anak yang bungsu sangat komitmen dalam menerapkan karakter sopan-santun. Belum menjadi teladan bagi istri mungkin sudah menjadi tradisi sejak kecil yang terbawa-bawa melekat dalam kepribadiannya. Apalagi masih ada yang lemah dalam diriku menurut pandangannya. Biarlah sudah penilaian yang pada dirinya untuk aku. Aku lebih baik hidup berdasarkan realitas atau kenyataan sebenar-benarnya dalam bertingkah laku.

Aku berkesan dengan gaya bertutur salah seorang Widyaswara ketika aku mengikuti Diklat Evaluasi Diri Sekolah (EDS) tahun 2011 pada tanggal 3 sampai dengan 8 Agustus 2011 di Badan Diklat Banten (di Karangtanjung). Orangnya masih muda kelahiran 1980, seorang perempuan cantik yang sudah memiliki anak masih kecil. Walaupun lima hari aku mengikuti Diklat, aku tidak merasa jemu sebab sikap dan perilakunya yang santun membuat aku berkesan. Itulah orang yang telah berkarakter bangsa yang memadai melebihi aku yang sudah tua.

Kestabilan emosi ternyata sangat berperan dalam kehidupan setiap orang. Karakter yang sopan akan membuat orang merasa senang, waktu lama sekalipun tidak membuat halangan untuk merasa bosan mengikuti kegiatan apapun. Karakter yang baik akan laku di dunia glabal yang hamper dilupakan banyak orang. Apalagi orang yang setiap hari dan malamnya selalu bergelut dengan benda-benda mati. Orang-orang terbiasa bergelut dengan computer atau internet sementara hubungan dengan manusia lain disamakan dengan benda-benda tersebut.

Karakter lemahpun masih kurang dimiliki oleh sebagian orang yang hidup dengan manusia lainnya. Bergerak dalam dunia politik, para politisi suka memakan sesamanya di mana orang lain tersebut menghalangi perjalanan hidupnya. Hidupnya selalu dihinggapi prasangka bahwa orang lain harus berada di bawah untuk dijadikan alat dalam mencapai tujuannya. Baik orang yang selalu berhubungan dengan benda mati maupun yang selalu berhubungan dengan manusia lain selama diri pelakunya tidak mengindahkan nilai-nilai kepribadian benar, maka yang ada hanyalah penyelewengan demi penyelewengan belaka.

Mulai saatnya aku berguru secara tidak langsung kepada orang-orang seperti yang aku contohkan di muka. Bukan usia tua saja yang menjadi ukuran keteladanan selama orang tersebut masih belum menunjukkan pribadi berkualitas. Usia muda juga bilamana perlu bias dijadikan contoh bagi kita. Sungguh terpuji bagi siapa saja yang telah menimbulkan kesan positif bagi sesame. Dengan kepribadian terpuji akan membuat orang tanpa menyadari bias mengidolakannya.

Hanya diri sendiri saja yang terlebih dahulu untuk menilai apakah sudah mencirikan kepribadian baik atau belum. Bilamana kita belum menunjukkan pribadi yang baik, maka kita harus bersegera memperbaiki diri bukan mengandalkan orang lain yang memperbaiki pola perilaku kita. Upaya instropeksi diri sangatlah penting kita miliki dalam menghadapi era glabalisasi ini. Sementara nilai-nilai sopan santun hampir dilupakan, baik oleh orang yang terpelajar maupun orang awam. Yang aku herankan masih ada orang yang yang berpendidikan tinggi atau berjabatan tinggi pula belum menunjukkan kepribadian terpuji. Mereka tidak memiliki antusias untuk mengubah diri sendiri. Antusias pada perubahan sudah seharusnya menjadi tradisi yang harus dikembangkan selalu. Apabila kita tinggalkan, maka kita tunggu kehancuran moralitas bangsa. Budaya sopan santun dan berperilaku terpuji ditinggalkannya membuat tradisi kasar, tidak saling menghargai, menganggap nilai-nilai sopan santun dalam berbicara adalah formalitas belaka.

Sungguh aku merasa sedih ada orang yang tidak menganggap penting nilai-nilai sopan santun. Nilai-nilai tersebut tidak dihiraukan dan bukti pembaktian kepada orang tua juga tidak ada, mau apa lagi yang mesti diharapkan? Yang diharapkan manusia hanyalah nilai-nilainya yang kita harapkan, berbeda dengan hewan biasa dimanfaatkan dagingnya, tenaganya atau dijual dengan harga yang menguntungkan. Bagaimana dengan manusia apabila tidak ada nilai yang terkandung di dalamnyax? Sungguh manusia seperti itu tidak mengandung manfaat bagi sesama apalagi bagi orang tua. Nilai sopan santun, menghargai, memberi manfaat, kebersamaan, dan nilai lainnya merupakan keharusan bagi orang-orang Islam, orang-orang di luar itu terserahlah bagi mereka. Umat Islam mau mengikuti Yahudi atau Nasrani terserah, manusia punya pilihan, tetapi harus memilih yang terbaik.

Agar manusia bermanfaat bagi sesama, manusia harus menuntut diri untuk banyak belajar dan langsung mempraktekkan nilai-nilai kebenaran di dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa hal itu, manusia tak ubahnya seperti hewan bahkan lebih buruk keadaannya daripada hewan. Hewan masih bermanfaat dagingnya atau dijual dengan harga tinggi. Membuat pemiliknya menjadi banyak uang bisa membeli apa saja yang menjadi keperluannya. Kita gunakan mata untuk melihat atau membaca tulisan, baik berupa buku maupun berupa tulisan elektronik. Kita gunakan mata dan pikiran atau perasaan untuk memikirkan/merasakan berbagai hal sehingga bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Apalagi sekarang ada media computer/internet bisa digunakan keperluan pembelajaran.

Sebenarnya upaya sekolah dan kuliah hanyalah pengakuan bahwa manusia belajar, sementara upaya belajar melalui media computer, internet bisa dilakukan sebagai sarana untuk mencerdaskan manusia. Belajar secara mandiri akan lebih efektif apabila dibandingkan dengan belajar melalui sekolah atau kuliah yang dilakukan dengan setengah-setengah. Umur dan jenis kelamin bukan menjadi ukuran keberhasilan, tetapi upaya seseorang untuk mengoptimalkan otak dan hati dalam belajar dan berlatih. Walaupun umur kita sudah tua, tidak ada alas an kita malas belajar, bekerja, dan berlatih.

Satu netbook yang setia menyertai diri saya dalam kegiatan menulis yang memberdayakan. Akan saya jadikan netbook sebagai sarana untuk memberdayakan diri saya lewat kegiatan menulis. Menulis yang berisikan nilai-nilai kebenaran, walaupun kenyataannya sangat sulit. Masalah rasanya lebih banyak daripada solusi. Oleh karena itu, saya mulai saat ini akan memperbanyak kegiatan menulis yang akan menguatkan bidang finansial saya. Kenyataan sulit dengan pemecahan masalah, tetap upaya menulis akan saya jadikan prioritas utama. Selain prioritas yang lain tidak saya lupakan pula. Yang membuat saya tidak mau bergerak maju secara cepat dalam pemberdayaan menulis, adalah rasa malas dan setengah-setengah dalam berupaya. Waktu banyak tersita untuk banyak bengong, bergunjing, dan beraktivitas yang tidak produktif.

Apapun objek tulisan akan saya hargai dengan penghargaan yang setinggi-tingginya. Pokoknya apa yang saya tuliskan saya harus menjelmakan tulisan tersebut menjadi bentuk catatan harian, artikel, dan buku. Penulisan artikel dan buku harus menjadi visi utama diri saya. Tulisan saya harus punya nilai dan harga yang tinggi. Di mana saya sudah tua tetap bisa menjaga diri saya menjadi manusia berkualitas dan bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar