Jumat, 24 Agustus 2012

AKTIVITAS MENULIS SEBAGAI TERAPI PENYEMBUHAN DIRI

lailyjelita.blogspot.com/.../aktivitas-menulis-sebagai-terapi.h...Bagikan

Penyembuhan diri, dalam ilmu Psikologi disebut dengan Psikoterapi. Istilah ini berasal dari dua kata, yaitu "psiko" dan "terapi. Psiko mempunyai arti mental atau kejiwaan, sedangkan terapi mempunyai arti penyembuhan atau usada. Subandi (2002: 2) mendefinisikan psikoterapi sebagai proses formal interaksi antara dua pihak atau lebih, yang satu sebagai penolong, dan yang satu lagi sebagai petolong atau orang yang ditolong, dengan catatan bahwa interaksi antara dua pihak tersebut menuju pada suatu perubahan atau penyembuhan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan rasa, pikir, perilaku, maupun perubahan kebiasaan sebagai hasil dari penerapan teknik-teknik penyembuhan tertentu dari penolong.

Banyak pendekatan yang dikenal dalam psikoterapi, di antaranya: pendekatan gestalt, pendekatan kognitif, prosedur relaksasi, meditasi, teknik pelatihan keterampilan sosial, ekspresi wajah positif, sampai teknik biblioterapi. Banyak literatur sudah membahas beberapa teknik atau pendekatan tersebut. Salah satunya teknik biblioterapi sebagai contoh. Teknik ini menggunakan bahan bacaan atau pustaka sebagai alat yang dapat membantu proses penyembuhan, dengan langkah yang sistematis tentunya. Lalu, bagaimana dengan aktivitas menulis? Apakah bisa juga dijadikan sebagai teknik dalam psikoterapi?

Saya menulis ini berangkat dari beberapa hal:
1. Keponakan saya yang menginjak remaja, mengurung diri di kamar ketika sedang mengalami hari-hari yang kurang menyenangkan. Apa yang dilakukannya di kamar? Menulis. Menulis diary. Tidak ada pihak lain (baca: manusia atau psikolog atau saya sebagai bibinya) yang menemaninya di kamar. Dia hanya ditemani beberapa lembar tisu, bantal, polpen, dan buku diary. Dan ketika dia keluar dari "kepompong" kamarnya tersebut, dia sudah terlihat "fine" atau "better" daripada sebelumnya. Saya mengamati itu.
2. Teman saya pernah bercerita, ketika dia berbeda pendapat dengan suaminya (baca: berantem) dan dia terluka sangat dalam, dia mengambil sebuah kertas lalu menulis kalimat ini: "aku sudah memaafkanmu". Kalimat tersebut ditulis sebanyak yang mampu dia tulis. "Sampek tanganku capek", katanya. Hasilnya? Matanya pun lelah meneteskan airmata seiring dengan lelah tangannya menulis kalimat yang (tanpa ia sadari) memberikannya sugesti untuk melepaskan energi negatif yang menumpuk ketika sedang bersitegang dengan suami. Dengan kata lain, rasa marahnya sudah tertuang dalam tulisan, otak ter-stel untuk memaafkan. Jika energi positif sudah kembali, penyembuhan psikologis lebih mungkin untuk dilakukan.
3. Saya pernah membaca. Aktivitas menulis merupakan aktivitas mental yang melibatkan dimensi intelektual, emosional, sekaligus spiritual. Pada dimensi intelektual, menulis mengaktifkan kognitif. Mulai dari proses pembacaan data atau informasi, mengolah informasi tersebut, menganalisisnya, sampai menuju pada penarikan kesimpulan. Pada dimensi emosional, menulis mewakili diri penulis untuk mengungkapkan kondisi emosinya, baik senang, sedih, cemas, grogi, marah, dll. Sedangkan pada dimensi spiritual, menulis dinilai akan bernilai ibadah jika kontennya berisi dengan nilai-nilai dakwah. Dari pendapat yang saya pernah baca ini, dimensi emosional dalam aktivitas menulis-lah yang ingin saya gali sebagai teknik atau pendekatan dalam psikoterapi.
4. Saya sering mengamati atau menganalisis secara sekilas dan sederhana status teman-teman dalam jejaring sosial Facebook. Update-update status yang dilakukan teman-teman (dan juga saya sendiri) menunjukkan perubahan emosi atau mental ketika status tersebut ditulis. Beberapa contoh tulisan dalam status facebook yang menyiratkan perubahan mental atau emosi misalnya: "lagi galau", "lagi dengerin lagunya adele someone like you", "beteeeeeeeeee....!!!!", "tolak kenaikan BBM", "pray for sukhoi", beteeeeeeeeee....!!!!", "tolak kenaikan BBM", atau "pray for sukhoi", dll.
5. Saya terkadang adalah penikmat novel yang gila. Maksud saya, seharian bisa nggak makan hanya karena enggan meninggalkan novel yang lagi seru-serunya. Atau yang parah, kebelet pipis dipending demi menyelesaikan bacaan. Biasanya, kenikmatan membaca itu "otomatis" membuat saya menganalisis dan mencoba menebak-nebak apa yang "sedang terjadi" dalam dunia mental penulis ketika ia memilih kata-kata dalam novel tersebut. Beberapa penulis novel best seller menyelipkan kisah atau pengalaman pribadinya. Hal ini tampak dari caranya tampil di depan umum dan kata-kata yang dipilihnya dalam menyusun novel. Ini mungkin lebih dekat pada proses aktualisasi diri seorang penulis daripada sebagai sebuah proses penyembuhan atau psikoterapi. Tapi menurut saya, proses penyembuhan tersebut adalah "bonus" dari aktivitas menulisnya yang sebenarnya ditujukan untuk aktualisasi diri. Penulis-penulis novel "kisah nyata" atau pengalaman pribadi tersebut memilih cara tepat sekaligus cerdas untuk menyalurkan nergi negatifnya.

Saya belum menemukan jurnal penelitian tentang menulis sebagai terapi psikologis ini. Saya memang belum mencarinya dengan sungguh-sungguh. Tapi berdasarkan poin-poin yang saya akomodasi dalam kehidupan saya di atas, saya berani mengajukan gagasan bahwa aktivitas menulis bisa menjadi sebuah teknik dalam penyembuhan diri atau psikoterapi yang sederhana, tentunya tidak dengan melibatkan orang kedua sebagai ahli atau penolong sebagaimana dalam definisi psikoterapi menurut pak Subandi di atas. Namun begitu, untuk menjadikan aktivitas menulis ini sebagai sebuah teknik dalam psikoterapi, pastinya dibutuhkan sejumlah riset ilmiah. Dan sebagaimana teknik penyembuhan lain, teknik menulis ini pun bergantung pada individu yang memilihnya sebagai cara penyembuhan. Mengapa? Karena menulis memerlukan bakat, meskipun bakat yang sangat sederhana. Kalau "jodho", ya bisa dibilang bahwa menulis adalah teknik penyembuhan yang cocok untuk dirinya. (Wallahu a'lam)

Jadi, ayo menulis...!!! Ayo mengobati diri...!!! Ayo beraktualisasi...!!!

0 komentar:

Posting Komentar