Jumat, 31 Agustus 2012

PENULIS HEBAT

inspirasi-menulis.blogspot.com/ Waktu itu pukul 00.07 pagi, tanggal 5 November 2010. Aku terbangun oleh suara sms masuk di blackberryku. Ternyata Ari Retnowati, teman kuliahku di IPB dulu yang sekarang tinggal di Klaten. “To, merapi kenapa lagi? Suara gemuruh gludag gludug-e kedengeran kuenceng buanget dari tempat gue sekarang. Kemarin-kemarin gak pernah kedengeran. Hopefully everything gonna be ok”. Suara guruh merapi memang luar biasa malam itu. Lebih keras dari hari-hari sebelumnya. Bayangkan kita sedang berdiri di pinggir jalan, lalu ada serombongan truk tronton lewat. Sekeras itulah kira-kira gemuruhnya. Padahal rumahku lumayan jauh dari puncak Merapi, sekitar 17-an kilometer. “Mas, gimana nih? Gak papa ya?”. Ternyata suara sms itu juga membangunkan istriku. Wajahnya tampak sedikit cemas. Tak heran. Aku pun cemas. Siapa yang tidak cemas mendengar suara gemuruh seperti itu. Aku tersenyum, berusaha menampakkan ekspresi wajah setenang mungkin. “Insya Allah gak papa yang. Kan perluasan radius bahayanya hanya sampai 15 km. Lagipula pemerintah bikin tenda pengungsian di lapangan Pojok kan? Gak mungkin pemerintah bikin tempat pengungsian di daerah bahaya”. Sehari sebelumnya, Merapi memuntahkan awan panas hingga mencapai wilayah timur laut Merapi Golf. Peristiwa itu membuat radius bahaya yang sebelumnya hanya 10 km diperluas hingga 15 km. Pengungsi di Oasis Disaster yang hanya berjarak sekitar 10 km dari puncak dievakuasi ke lapangan Pojok yang berjarak sekitar 200 meter sebelah utara rumah kami. Blacberryku berbunyi lagi, kali ini sms dari mas Wandi, kepanduan DPC Pakem yang sejak letusan pertama tanggal 26 Oktober bersiaga di pengungsian Hargobinangun. “Info: pengungsi Hargo dipindahkan malam ini ke Maguwo semua”. Jantungku berdegup kencang. Kalau pengungsian Hargobinangun dievakuasi, artinya ini benar-benar serius. Kubalas sms dari beliau. “Bagaimana dengan pengungsi di lapangan Pojok? Apa sudah ada perintah evakuasi?”. Kalau lapangan Pojok dievakuasi, berarti rumah kami pun tidak aman. Tak lama datang balasan dari beliau “sementara masih tetap di Pojok”. Aku agak lega, tapi tetap saja kuminta istriku untuk mempersiapkan traveler bag. “Masukkan saja beberapa lembar pakaian dan semua buku rekening kita, juga kas OmahTernak yang ada di rumah. Hanya untuk jaga-jaga. Siapkan juga kandang kecil Choky”. Choky adalah kucing Himalaya jantan peliharaan kami. Tidak mungkin rasanya meninggalkan dia di rumah bila perintah evakuasi keluar. Ketika sedang membantu istriku mempersiapkan semua, blackberryku kembali berbunyi. Kali ini telepon dari pak Indra, ketua PKS DPC Pakem. “Assalamu’alaikum” sapaku. “Wa’alaikumsalam” jawab beliau. “Akhi, bisa minta tolong jemput ane? Ane mau evakuasi istri dan anak ke rumah antum saja”. Aku langsung berganti pakaian. Rumah pak Indra berada di Kalireso, sekitar 15-16 km dari puncak Merapi, dan tepat berada di pinggir Kali Boyong. Bila Merapi meletus dan awan panas masuk ke Kali Boyong, maka bisa dipastikan rumah beliau akan terkena. Aku mengambil kunci mobil avanza yang disediakan DPD untuk antar-jemput logistik kemudian berpamitan pada istriku. Saat keluar dari kamar, kulihat semua pengungsi yang tidur di ruang tengah rumah kami sudah terbangun semua. Ada yang sedang tilawah, ada yang sedang menenangkan anaknya, ada pula yang sedang mencoba mengontak kerabatnya yang masih tinggal di atas. Baru saja dua langkah aku berjalan meninggalkan kamar, tiba-tiba suara gemuruh itu berhenti beberapa detik dan lalu….. DUAAAAR…. Suara letusan yang keras sekali. Kami semua terkejut. Ada yang beristighfar, ada pula yang memekikkan takbir. “Astaghfirullah mas! Apa itu??”. Istriku menarik jilbab kaos terdekat lalu berlari ke arahku. DUUAAARRR…. Suara letusan kedua terdengar. Beberapa detik kemudian….TAK…TAK…TAK…. terdengar suara keras di atap. Aku dan beberapa bapak-bapak berlari ke arah teras. “Astaghfirullah….Subhanallah…” gumamku pelan. Seumur hidupku, aku hanya pernah melihat hujan air. Lalu beberapa bulan yang lalu Allah menunjukkan kepadaku hujan es. Pada letusan tanggal 30 Oktober aku diperlihatkan hujan abu. Dan kini tubuhku gemetar, jantungku terasa jatuh ke bawah….hujan batu! Kendaraan bermotor mulai dari mobil, truk, dan kendaraan roda dua mulai melaju kencang melewati rumah kami menuju arah selatan. “Pengungsi dari lapangan Pojok lari!” pikirku dalam hati. Di sebelah, satu-satunya tetanggaku, pak Nono—seorang TNI—yang ditugaskan di Hargobinangun berteriak kepadaku. “Mas! Di sini gak aman!”. Beliau lalu ikut lari dengan motor bersama keluarganya. Aku segera masuk kembali ke dalam rumah, menutup pintu agar abu tidak masuk ke dalam. Kaum ibu di dalam rumah mulai ribut. “Bagaimana ini akh?” Tanya seorang bapak. Aku kemudian berdiskusi dengan akh Herwanto dan akh Efen. Kami sepakat, menyelamatkan diri sekarang justru lebih berbahaya. Di depan rumah kami truk-truk besar berjalan kencang melarikan diri. Mobil hanya ada satu, sedang menyelamatkan diri dengan motor berisiko dilindas truk atau celaka karena menghirup abu merapi. Kami sepakat prioritas pertama adalah menjemput pak Indra dan keluarganya di Kalireso, walau itu berarti melawan arus pengungsi dan relawan yang melarikan diri. Tapi itu resiko yang harus kami ambil. No one left behind! Demikian pikirku. Aku berpamitan kepada istriku, menenangkannya, lalu berlari ke arah mobil avanza yang diparkir di pagar masuk rumah ditemani akh Efen. “Awas! Pakai helm akh!” teriak pak Herwanto. Ups, betul. Hujan batu sebesar kelereng masih berlangsung. Safety first. Aku dan akh Efen mengambil helm pengungsi yang disimpan di teras lalu berlari sekencang mungkin ke dalam mobil. Segera kunyalakan mesin mobil, dan kusingkirkan abu vulkanik yang menempel di kaca depan dengan wiper mobil. Di jalan, tidak ada yang bisa kulihat selain benda yang berjarak 3 meter di depanku. Hujan abu dan kerikil begitu tebalnya. Belum lagi truk-truk dari tenda pengungsian yang berjalan cepat melawan arahku. Mungkin karena panik, truk-truk diesel sebesar itu berjalan di tengah jalan yang tidak begitu lebar itu. Beberapa kali aku harus membanting stir karena tepat berpapasan dengan mereka, bahkan sampai hampir terperosok ke sawah karena berjalan terlalu di pinggir. Aku sudah tidak peduli dengan klakson dan makian dari truk-truk itu. Yang ada di otakku adalah secepatnya sampai ke Kalireso dengan selamat. Pasti hanya karena pertolongan Allah sajalah, aku bisa sampai ke Kalireso dengan jarak pandang tidak sampai 3 meter sambil melawan arus evakuasi tanpa salah belok atau tertabrak truk. Aku yakin para supir truk yang panik itu tidak mungkin bisa melihatku, walau cuma cahaya lampu mobilku karena akupun sama sekali tidak bisa melihat truk mereka, ataupun cahaya lampu mereka. Sesampai di Kalireso, kujalankan mobil dengan sangat perlahan. Rumah beliau berada tepat di pinggir jalan tapi, Masya Allah…bahkan aku tidak tahu apa aku masih berada di atas jalan. Hujan abu makin deras, kini aku buta total. Sekali lagi, hanya berkat pertolongan dari Allah sajalah aku bisa berhenti tepat di depan rumah beliau. Bahkan aku bisa memposisikan agar ekor mobilku tepat di samping pintu masuk. Bila sampai sekarang orang-orang bertanya kepadaku bagaimana caraku memposisikan mobil sedemikian rupa sehingga lebih memudahkan evakuasi, aku menjawab tidak tahu. Aku hanya memutar mobilku dalam kebutaan, dan memundurkannya dan entah bagaimana tepat di samping pintu. Mungkin beberapa orang menyebutnya sebagai ‘kebetulan’. Tapi aku sendiri yakin bahwa ini pertolongan dari Allah. Saat turun dari mobil, baru kusadari warga Kalireso sudah berkumpul semua di dalam mushalla. Di pintu rumah, pak Indra sudah menunggu beserta istri dan anaknya yang baru berumur sekitar 2 minggu. Di samping mushalla, ada sebuah truk yang siap mengevakuasi warga di sana. Belakangan aku baru tahu, bahwa di dalam truk tersebut sudah terdapat 5 jenazah korban letusan Merapi. Setelah kami semua masuk ke dalam mobil, aku kembali menyalakan mesin dan menjalankan kendaraanku perlahan-lahan. Keluar dari Kalireso, hujan abu sudah mulai mereda walau masih deras. Jalan utama yang tadi disesaki oleh mobil dan truk yang melarikan diri kini telah kosong melompong. Jalan Turi yang biasanya ramai karena merupakan jalur wisata, kini seperti kota mati. Sesampai di rumahku, hujan abu sudah makin menipis. Kini aku bisa melihat sekitar dengan jelas walau abu masih terasa merasuk ke pernafasanku padahal aku sudah mengenakan masker. Orang-orang di dalam rumah sudah mulai tenang, walau anak-anak masih menangis ketakutan. Mbak Riza, istri pak Indra beserta anaknya masuk ke kamar bersama istriku. Aku, pak Indra, pak Efen, dan pak Herwanto berkumpul membicarakan langkah selanjutnya. Kami sepakat, bahwa pada titik tertentu kami harus keluar dari tempat ini dikarenakan abu vulkanik halus mulai masuk ke dalam rumah, dan ini tidak baik untuk kesehatan anak-anak terutama balita. Namun kami khawatir dengan kondisi jalan menuju ke selatan yang masih sesak dengan pengungsi yang melarikan diri. Di sini aku menyadari bahwa dalam kondisi darurat seperti ini diperlukan ketenangan untuk berpikir jernih. Bayangkan bila kami ikut panik berlarian ke bawah, mungkin akibatnya akan lebih fatal. Untuk saat ini, kami memutuskan untuk berjaga bergiliran, sementara sisanya istirahat. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengontak akh Wicak, temanku di Bandung untuk mencari kabar terbaru. Kami tidak bisa mengakses media karena listrik dimatikan. Kira-kira pukul tiga pagi, rumahku diketuk. Ternyata seorang kepanduan dari DPD Sleman datang untuk memeriksa kondisi kami. Beliau menyarankan kami untuk evakuasi sekarang, sambil meyakinkan bahwa jalan Kaliurang telah lengang sehingga aman untuk evakuasi. Dua buah mobil dari DPD juga telah berangkat menuju rumah untuk membantu proses evakuasi. Pak Indra memintaku untuk berangkat terlebih dahulu untuk mengangkut ibu-ibu yang mempunyai anak-anak balita. Tujuannya adalah Ponpes Darush Shalihat. Terus terang aku merasa agak keberatan. Aku berat meninggalkan istriku di rumah dalam kondisi seperti ini. Apalagi Merapi sudah mulai kembali bergemuruh. Tapi aku tahu aku harus menanggalkan egoku dalam kondisi seperti ini. Aku tahu, mengevakuasi anak-anak balita terlebih dahulu adalah keputusan yang tepat karena kondisi udara saat itu tidak baik untuk mereka. Dan anak balita tidak mungkin dievakuasi tanpa ibu mereka. Sehingga apa boleh buat, istriku harus menunggu untuk dievakuasi. Perasaanku sangat berat ketika berpamitan dengan istriku. “Hati-hati ya mas” ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk pelan. Ku tatap wajahnya seakan-akan itu terakhir kalinya aku bisa menatap wajahnya. Ketika berjalan menuju mobil, kutepuk bahu pak Indra. “Titip istri ane ya akh”. Aku berusaha tenang namun ternyata suaraku tetap bergetar. “Ya akh, Insya Allah” jawab beliau. Aku menjalankan mobilku perlahan, berusaha tidak membuat anak-anak kecil ini makin ketakutan. Di sebelahku, seorang ummahat terisak-isak sepanjang perjalanan. Beliau istri dari pak Herwanto. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu di dalam mobil untuk menceriakan suasana atau sekedar mencairkan ketegangan. Tapi aku sendiri sedang dalam keadaan kalut. Senyum istriku terus terbayang sepanjang perjalanan. Akhirnya aku hanya diam saja. Aku hanya berusaha secepat mungkin dan seaman mungkin sampai di ponpes Darush Shalihat, lalu kembali ke Pakem untuk menjemput istriku. Sesampai di ponpes, aku segera menghubungi pak Indra. Ternyata beliau meminta aku untuk menunggu di sana. Tentu saja aku protes. Tapi beliau segera memotong “istri antum Insya Allah aman akh, beliau naik di mobil kedua di belakang antum”. Hatiku agak tenang, walau aku belum lega sebelum melihat istriku lagi. Sehingga walau aku diminta untuk segera ke kantor PKS DPD Sleman, aku memutuskan untuk menunggu sebentar lagi. Baru setelah bertemu istriku aku berangkat menuju kantor DPD. Aku tiba di DPD tepat saat adzan subuh. Di sana suasana cukup hiruk-pikuk. Barulah ketika masuk ke dalam, aku melihat betapa besar kejadian dini hari tadi di televisi. Di kabarkan 50 orang luka bakar di Kecamatan Cangkringan. Tetapi belum diketahui ada atau tidaknya korban tewas. Dari televisi juga aku mengetahui radius bahaya diperluas hingga 20 km. Fuuuhhh…… there goes my neighborhood… pikirku dalam hati. Rumahku resmi masuk wilayah bahaya II. Di DPD aku bertemu dengan ustadz Ryo Rasyid, yang memiliki kelompok binaan Ternak Domba Master di Cangkringan. Beliau menanyakan kondisiku dan teman-teman Pakem. Belakangan baru aku mengetahui bahwa sebagian kandang kelompoknya habis disapu awan panas. Saat itu aku tidak menyadarinya, karena kondisi beliau saat itu tenang sekali. Tak lama, aku juga mendapatkan telepon dari ustadz Nashir Harist, pimpinan ponpes Al-Hadi. Beliau menanyakan kondisiku dan kondisi kandangku. Aku menjawab: “ane Alhamdulillah baik-baik saja ustadz. Kalau kandang….ane pasrahkan saja pada Allah…ane gak tahu”. Aku benar-benar belum tahu nasib kandangku beserta karyawan yang tidur di sana. Mereka belum bisa ku hubungi. Setelah shalat subuh, aku memilih kembali ke mobil. Aku lelah sekali. Di DPD sudah tidak ada tempat untuk sekedar duduk. Banyak sekali pengungsi di sana. Aku ingin tidur sebentar di dalam mobil. Ini pasti akan menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan…Sebelum tidur, kusempatkan untuk mengirimkan sms kepada istriku. “Whatever happened, I will always love you”. Pagi jam setengah 8, aku kembali bertemu dengan pak Indra di DPD. Sebelumnya aku sempat mengantarkan istri ke rumah orang tuaku. Tapi karena ia ingin kembali lagi ke posko, akhirnya kami hanya meletakkan barang-barang yang sempat kami bawa di rumah orang tua. Pagi itu aku, istriku dan pak Indra kembali ke rumahku untuk mengambil barang teman-teman serta logistik posko yang masih tertinggal. Tetapi sebelumnya aku sempatkan untuk mampir terlebih dahulu ke kandangku di dusun Penen. Selama di perjalanan, baru aku mendengar kisah heroik teman-teman DPC Cangkringan yang mengevakuasi warga sambil dikejar oleh lahar panas. Bahkan ada satu kelompok yang terpaksa memutar ke arah Prambanan karena jalur evakuasinya terpotong oleh lahar panas. Ternyata, ketika di rumahku hujan batu dan pasir, mereka mengalami hujan api. Dan ketika aku menembus kegelapan malam menuju Kalireso, mereka sedang berjibaku menyelamatkan warga sambil dikejar lahar serta awan panas. Beberapa hari kemudian, aku membaca status facebook ketua DPC Cangkringan kurang lebih sebagai berikut: “Awan panas sudah ada alamatnya akan ke mana. Demikian juga kematian itu pasti akan datang. Tinggal bagaimana kita mengatur seni kematian itu, mati dalam kemaksiatan atau mati dalam kemanfaatan kepada orang lain”. Setibanya di Penen, kudapati kandangku sudah kosong melompong. Tampaknya anak kandang kami sudah mengungsi entah kemana. Aku masih tidak bisa menghubungi mereka. Seluruh rumput untuk pakan kami sudah tertutup abu. Tapi Alhamdulillah, kandang domba kami bersih. Memang jalan tempat domba masuk ke kandang putih tertutup abu semua. Tetapi bagian dalam kandang dan tempat pakan, bersih. Domba kami masih dilindungi Allah. Aku sedikit lega, walau dalam hati mengkhawatirkan stok hijauan kami yang terselimuti debu vulkanik. Beberapa menit di kandang, kami segera meluncur ke rumahku. Kupakai kesempatan itu untuk menyelamatkan CPU, mengambil lagi beberapa helai baju, dan menyelamatkan beberapa surat penting yang tertinggal dini hari tadi. Suasana masih mencekam karena guruh merapi masih terdengar. Setelah itu kami sempatkan mampir ke Kalireso untuk mengambil beberapa keperluan pak Indra. Di sana, gemuruh jauh lebih keras lagi. Siang hari kami gunakan untuk istirahat sekaligus shalat Jumat. Sorenya, aku diminta untuk mengevakuasi teman-teman kader yang masih tertinggal di atas. Aku berangkat bersama pak Herwanto dan pak Ahmad. Cukup sulit untuk mencapai ke atas, karena jalan-jalan utama sudah diblokir oleh polisi dan relawan. Tapi biasanya tiga kata sakti ini cukup membuat jalan terbuka untuk kami: “relawan PKS, evakuasi”. Apalagi kami bertiga memakai kaos kepanduan. Selama berputar-putar melacak lokasi teman-teman dan keluarga kader di atas, keadaan sangat mencekam. Gemuruh merapi jauh lebih keras dari tadi siang. Kondisi sangat gelap, padahal waktu masih menunjukkan pukul 14.30. Terus terang, jadi aku teringat sehari sebelum letusan ketika aku, pak Herwanto dan pak Ahmad beserta beberapa kepanduan DPD naik ke dusun Boyong yang berjarak 8 km dari puncak untuk membongkar tenda pleton (saat itu radius bahaya sudah dinaikkan menjadi 15 km). Saat melepas tenda pleton itu, setiap ada guruh aku selalu mendongak ke arah puncak. Menebak-nebak apakah itu suara gemuruh geledek dari awan hujan, atau suara gemuruh merapi yang memuntahkan awan panas. Kini, kondisi dusun Boyong yang berjarak 8 km dari puncak itu sama dengan kondisi daerah yang sedang aku lewati, yang berjarak sekitar 15 km dari puncak. Jalur evakuasi yang kutempuh cukup berputar-putar karena beberapa akses jalan tertutup oleh batang pohon atau bambu yang rubuh. Di sebuah dusun kudapati sebuah pohon beringin yang sangat besar tumbang karena tidak kuat menahan beban abu dan pasir di dahannya. Pikirku saat itu adalah “mudah-mudahan rumahku tidak bernasib seperti ini”, mengingat rumahku juga terkena hujan pasir dan kerikil. Ketika memasuki pertigaan Balong dan akan menyeberangi jembatan, ada sekelompok linmas menghadang kami. Seperti biasa, kubuka jendela mobil sambil berkata “relawan PKS, mau evakuasi”. Tapi kali ini kata sakti kami tidak berhasil. “Banjir mas, gak bisa lewat!” demikian teriak salah seorang linmas. Aku memajukan mobilku sekitar 10 meter ke depan. Baru aku sadar apa maksud linmas tersebut. Jembatan yang akan aku lewati terbenam oleh aliran deras lahar dingin. Deras sekali. Masya Allah….pikirku. Sungai ini berhulu di Kali Boyong, dan berhilir di Kali Code, tempat tinggal teman-teman ‘pekanan’-ku. Aku tidak ingat apakah hari itu hujan deras, tapi aku ingat sekali aliran lahar dingin tersebut, dengan material vulkanik berupa batu besar-besar. Aku berputar sambil berdo’a dalam hati “Allah, lindungilah saudara-saudaraku di bawah sana”. Malam itu, kami semua dari PKS DPC Pakem sepakat bahwa itulah tidur ternikmat yang pernah kami rasakan. Tanpa ada rasa takut, tanpa ada gangguan guruh dan hujan abu. Malam itu, kami beristirahat dengan tenang. Namun kami sadar, seperti pesan salah satu ustadz kami: “Bencana ini nampaknya akan panjang. Oleh karena itu kita juga harus menjaga nafas kita agar tetap panjang. Karena kita tidak hanya dibutuhkan saat tanggap bencana, melainkan juga saat post-disaster”. Merapi pertama kali meletus pada tanggal 26 Oktober 2010 pukul lima sore lewat, tepat saat kami baru saja selesai rapat koordinasi persiapan bencana. Sampai kisah ini kutulis pada tanggal 11 November 2010, masih belum ada tanda-tanda kapan bencana ini akan berakhir. Kisah ini kutulis sebagai jawaban atas keinginan teman-teman yang memintaku untuk menceritakan pengalaman kami saat letusan besar pada tanggal 5 November 2010 itu terjadi. Kisah ini kutulis, untuk menceritakan mereka, manusia-manusia berani yang bekerja demi sesama walau tanpa kemewahan sorot kamera. Kisah ini kuberi judul “Kisah dari Garis Depan” karena menceritakan tentang pengalaman kami yang berada pada garis terdepan saat letusan terbesar gunung Merapi dalam 100 tahun terakhir ini terjadi. Kisah ini kutulis atas rasa bernama cinta. Dalam Dekapan ukhuwah, cerita ini mengalir. Seperti buku yang kubaca saat Ramadhan yang lalu, karya Salim A. Fillah. Muhammad Subroto, yang masih belajar mencurahkan isi hatinya dalam bentuk tulisan Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

0 komentar:

Posting Komentar