Jumat, 24 Agustus 2012

Guru Menulis Guru Berprestasi

www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op...artid...

Sampai saat ini, tulisan opini/artikel atau gagasan tentang pendidikan di media massa umum terutama media cetak, masih didominasi oleh dosen, pemerhati pendidikan, politisi, mahasiswa dan sebagainya.Sementara dari kalangan guru masih sangat sedikit, padahal mereka sehari-hari bergelut dengan dunia pendidikan.

Sedikitnya, guru yang me­nuang­­kan gagasannya lewat tu­lisan diyakini menjadi salah satu faktor yang membuat pen­dapat guru nyaris tidak terdengar, apa sebenarnya pendapat dan mau guru terhadap pendidikan. Padahal, suara-suara guru itu bukan sekedar pengamatan, namun juga pengalaman. Bila guru menulis tentang persoalan pendidikan, diyakini lebih dalam setidaknya dibanding politisi, misalnya.
Sedikitnya guru yang me­nuang­kan gagasannya lewat opini, dipengaruhi sejumlah perma­salahan, di antaranya kemam­puan guru dalam menulis opini masih sangat kurang. Kedua, rasa rendah diri guru ketika mau menulis, mereka berpikir bahwa pekerjaan menulis adalah pekerjaan orang-orang hebat, bergelar profesor, doktor, padahal guru sejatinya adalah orang hebat dan tidak semua profesor dan doktor bisa menulis.
Ketiga, rasa takut tema yang diangkat terlalu umum dan kampungan. Namun, mesti diingat, hal-hal yang ada di sekitar kita yang ada di kampung atau terkesan biasa bisa jadi lebih hebat bukankah novel Laskar Pelangi berawal dari kehidupan sekolah dan berasal dari kam­pung. Bukankah, orang-orang yang merasakah langsung lebih mengetahui duduk persoalannya. Dibanding profesor sekalipun.
Keempat, layu sebelum ber­kembang sudah pernah me­ngirim­kan tulisan namun ditolak setelah itu tidak lagi menulis. Kelima, tidak menganggap menulis opini/artikel bukan hal penting, padahal tulisan opini di media massa bisa dibaca luas, baik oleh kepala dinas, gubernur, bupati, serta masyarakat umum.
Menulis opini memang mem­butuh­kan keterampilan dan ke­uletan. Keterampilan yang harus terus diasah supaya sema­kin hari semakin tajam. Mantera yang sangat baik untuk menulis, adalah menulis, menulis, dan menulis sekarang. Langkahnya, terus menulis, jangan hiraukan tulisan anda jelek, amburadul dan tidak nyambung. Keluarkan apa yang ada di otak, setelah itu baru dikoreksi. ”Kekuatan otak kanan banyak dilakukan oleh para penulis, jadi teruslah menulis, jangan dulu dikoreksi,” kata Ahmad Lutfi Redaktur Opini Radar Banten, pada saat diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Guru Pandeglang, (8/5/11).
Guru yang menulis adalah guru yang berpretasi. Pasalnya, mengukur tugas guru tentu sangat susah. Kalau pegawai yang lain di perusahaan seperti pemasaran bisa dinilai dengan tingkat penjualan, kalau pegawai kecamatan bisa dinilai dengan seberapa besar warga merasa puas atas pelayanan yang diberikan oleh mereka, namun untuk guru apa ukurannya.
Tingkat kelulusan siswa, hadir di kelas tanpa absen, tentu saja kegiatan itu wajib dilakukan oleh guru, dan belum bisa dikatakan prestasi. Begitupula dengan mendapatkan sertifikat guru, belum bisa dijadikan ukuran karena penilaian portopolio kebanyakan hanya kumpulan sejumlah sertifikat, lebih-lebih ada wacana untuk mendapatkan sertifikasi guru harus menjalani pendidikan profesi guru. Banyak juga yang mendapatkan sertifikasi karena masa kerja yang lama dan sudah lebih dari 50 tahun.
Tidak ada ukuran yang spesifik memang terkait dengan pretasi guru. Namun, kita bisa menga­takan bahwa guru yang menulis adalah guru yang berpretasi, karena guru yang menulis adalah guru yang bisa menjabarkan gagasan dan idenya, bukan hanya di dalam kelas namun juga pada masyarakat yang lebih luas. Sehingga masyarakat pun bisa tercerahkan.
Lalu apa manfaat bagi guru me­nulis di media massa? Sung­guh sangat banyak, karena terlalu banyak di sini saya hanya akan me­nuliskan sembilan saja. Sele­bihnya, terserah karena saya ya­kin Anda bisa menambahkan lagi manfaat yang telah saya tulis.
Pertama, manfaat menulis bagi guru untuk meningkatkan golo­ngan atau karir. Seperti diketahui, tulisan seorang guru akan diberi poin dalam angka kredit untuk naik golongan.
Kedua, menulis dapat mengem­bangkan pemikiran kritis. Berpikir kritis adalah berpikir bagaimana mendebatkan sebuah persoalan, baik persoalan yang dilontarkan oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Berpikir kritis membutuhkan kemampuan untuk mengiden­tifikasi prasangka, kebohongan, distrorsi, bias, dan segala praduga yang belum tentu kebenarannya. Sehingga lewat berpikir kritis lebih memahami persoalan dengan lebih tajam. Berpikir kritis ini, sangat penting dan perlu bagi guru. Bagaimana guru bisa dikatakan guru yang baik, kalau pemikirannya tidak tajam dan mendalam.
Ketiga,menulis dapat menam­bah penggemar. Tulisan lewat media massa, bisa dibaca oleh ba­nyak kalangan, sehingga ba­nyak orang yang mengenal kita. Bila tulisan kita bagus dan bisa mem­beri manfaat pada banyak orang, tentu saja orang-orang akan semakin suka pada kita, wa­laupun banyak juga yang me­rasa tidak senang atas dimuat­nya sebuah artikel. Biasanya, orang yang tidak senang itu ka­rena kepentingannya ter­ganggu. Misalnya, pejabat yang korup, kalau kita menulis tentang persoalan korupsi.
Keempat, menulis dapat mem­buat guru lebih sehat, ka­rena dengan menulis dapat menyem­buhkan sejumlah penyakit yang berkaitan dengan emosi. James W. Pennebaker salah satu pelopor studi mengenai keterkaitan antara kegiatan menulis dengan kondisi kesehatan manusia yang juga Psikolog yang mengajar di Southern Methodist University, USA, seperti ditulis oleh Andreas Harefa (Pembelajar.com) sering menganjurkan kliennya untuk menuliskan soal-soal yang bersifat pribadi. Misalnya, seputar kejadian-kejadian di masa kecil, relasi dengan orang­tua, orang-orang yang pernah dicintai atau yang sekarang Anda cintai, atau karier Anda.
Hasil penelitian Pennebaker yang dimuat di jurnal Clinical Psychology seperti dikutip oleh Nia Hidayati (http://niahidayati.net/manfaat-menulis-untuk-kesehatan-mental.html) menunjukan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan menulis pada umumnya mempunyai men­tal yang lebih sehat diban­ding mereka yang tidak mem­punyai kebiasan menulis. Me­nulis juga bisa dijadikan terapi untuk memulihkan trauma, dan menulis dijadikan media therapis oleh para psikolog dan psikiater.
Guru, yang sehari-hari berhu­bungan dengan murid, dengan tingkah polahnya kalau tidak mempunyai terapi yang baik bisa menimbulkan persoalan batin. Memikirkan anak-anak sampai dibawa ke rumah. Jangan mengamuk atau marah-marah yang kadangkala bisa diluar kontrol kita. Jadi menulislah.
Kelima, menulis untuk me­ngem­bangkan ide dan gagasan, siapa tahu dibaca oleh kepala dinas, gubernur, bupati, ma­hasiswa, rektor, bandingkan misal­nya kalau ide dan gagasan kita tentang persoalan pendi­di­kan, hanya dipendam saja dalam hati, siapa yang tahu. Jadi, lewat menulis seorang guru bisa mengembangkan gagasannya, siapa tahu dari gagasannya akan lahir sebuah kebijakan yang bagus untuk dunia pendidikan.
Keenam, guru yang menulis bisa mendapatkan honor. Biasa­nya, media massa memberikan honor pada penulis. Tentu saja besaran honornya itu tergantung, pada kebijakan perusahaan media massa tempat memuat tulisan kita. Namun sebagai gambaran untuk media nasional sudah ada yang memberikan honor Rp 700.000, Rp 500.000, Rp 300.000, Rp 200.000 dan Rp 100.000. Kabarnya, untuk lokal di Banten rata-rata Rp 50.000-Rp 75.000.
Banyaknya media saat ini, menjadi peluang bagi guru untuk menulis. Setelah menulis, banyak juga orang yang dipanggil untuk menjadi pembicara terkait dengan masalah yang dia tulis. Honor juga bukan hanya berbentuk uang saja, namun juga pujian dari teman atau orang yang bisa mengambil manfaat dari tulisan kita.
Ketujuh, lebih mendalami berbagai persoalan. Lewat menulis seorang guru bisa lebih menggali ilmu. Ketika saya menulis mengenai Ujian Nasional, maka saya menggali kembali mengenai persoalan UN, tujuan UN, dengan menulis UN saya lebih memahami persoalan UN.
Kedelapan, meningkatkan ke­cerdasan. Pertama karena menulis dapat dijadikan alat untuk meningkatkan daya ingat, karena otak terus diasah. Tak heran ada nasehat yang bagus, ikatlah ilmu dengan menulis. Me­nulis juga bisa lebih meng­optimalkan otak kanan, otak kanan itu berfungsi untuk hal-hal non logika, menumbuhkan rasa empati, meningkatkan kreativitas. Selain itu, menulis juga sebagai sarana untuk berbagi ilmu. Ilmu semakin dibagi maka akan semakin bertambah.
Kesembilan, menulis opini/artikel bisa menjadi modal untuk mengembangkan kemampuan menulis, setelah menulis opini/artikel maka anda bisa mengem­bangkannya untuk menulis buku, makalah dan modul-modul untuk pembelajaran.
Begitu banyak manfaat dari menulis, sebagai guru rasa-rasanya menulis adalah sebagai kewajiban. Menulis adalah abadi, menulis adalah berbagi ilmu pengetahuan, suara-suara guru akan lebih didengar, dan pasti Tuhan akan mencatatnya sebagai amal kebaikan. Maka, tak berlebihan bila kita katakan sekali lagi, guru yang berprestasi adalah guru yang menulis.



Ginanjar Hambali
Penggiat Forum Diskusi Guru Pandeglang

0 komentar:

Posting Komentar