Jumat, 31 Agustus 2012

HIDUPKAN TRADISI MEMBACA DAN MENULIS

Sumber: kampus.okezone.com/read/.../hidupkan-tradisi-membaca-dan-menuli... PADA prinsipnya niat Dirjen Dikti yang mewajibkan penulisan serta publikasi karya ilmiah, baik. Publikasi karya ilmiah bisa menjadi parameter mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Jika sebuah karya ilmiah layak muat di jurnal ilmiah, sudah pasti kualitasnya baik. Dengan begitu, bisa menjadi indikator keberhasilan mahasiswa. Namun, akan menjadi gegabah jika kebijakan ini mendadak diterapkan. Perlu persiapan panjang untuk memulainya. Menghidupkan tradisi baca-tulis mahasiswa adalah langkah krusial yang harus segera dilakukan. Pasalnya, pembuatan karya ilmiah tak lepas dari dua pekerjaan tersebut. Tradisi baca-tulis mahasiswa mampu menunjang kualitas karya ilmiah yang dihasilkan. Maka, perlu adanya kebijakan perguruan tinggi (PT) untuk memupuk tradisi baca-tulis mahasiswa. Pada hakikatnya, kerja membaca dan menulis adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Untuk menulis, mahasiswa harus membaca. Penambahan mata kuliah jurnalistik dalam satuan kredit semester (SKS) barangkali menjadi langkah ampuh untuk memicu tradisi baca-tulis. Melalui mata kuliah tersebut, mahasiswa mempunyai tuntutan menulis. Selain itu, mau tidak mau mahasiswa harus membaca buku sebanyak-banyaknya untuk bisa menghasilkan tulisan yang baik. Sehingga, setelah mengambil mata kuliah jurnalistik, mahasiswa memiliki keterampilan menulis. Agar lebih efektif, seyogianya mata kuliah jurnalistik diterapkan di awal semester. Mengingat kewajiban publikasi karya ilmiah di akhir studi. Dengan begitu keterampilan menulis mahasiswa bisa diasah ketika mengerjakan makalah selama kuliah beberapa semester. Keterampilan menulis yang terasah mampu menjadi senjata mahasiswa saat mengerjakan karya ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah. Mereka tidak canggung lagi karena sudah terbiasa. Nah, jika setiap PT di Indonesia membuat kebijakan penambahan mata kuliah jurnalistik, dapat dipastikan semua mahasiswa akan mendukung kebijakan publikasi karya ilmiah yang digaungkan Ditjen Dikti. Pasalnya, membuat karya ilmiah bukan momok lagi bagi mahasiswa. Justru yang menjadi masalah adalah bagaimana PT atau instansi lain bisa mengakomodasi karya ilmiah ratusan ribu mahasiswa? Lalu siapa yang bakal membacanya? Pemerintahlah yang wajib menjawab! Abdul Arif Mahasiswa Tadris Matematika IAIN Walisongo Semarang(//rfa)

0 komentar:

Posting Komentar