Senin, 27 Agustus 2012

SUATU KEHARUSAN MENGAPA GURU MENULIS

Sumber: herlinapoetriluqman.blogspot.com/.../suatu-keharusan-mengapa-guru... Kehidupan masyarakat di era globalisasi informasi sekarang ini menuntut kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, baik secara reseptif maupun secara produktif, baik menerima maupun menuangkan ide serta pikirannya secara cepat dan tepat, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam kehidupan masyarakat seperti ini, komunikasi merupakan salah satu kunci kehidupan yang harus dikuasai karena dengan penguasaan kemampuan berkomunikasi ini orang akan lebih mudah dalam menerima dan mengirim berbagai informasi. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik seperti itu, diperlukan penguasaan penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi. Dalam kegiatan berbahasa, ada empat keterampilan berbahasa yang memiliki hubungan erat, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Dari keempat keterampilan berbahasa tersebut, keterampilan berbicara dan menulis sering dianggap sebagai bentuk keterampilan berbahasa yang dianggap cukup sulit karena merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif. Keterampilan berbicara dan menulis juga merupakan suatu kemampuan yang diperoleh melalui proses berlatih. Artinya, keterampilan itu tidak datang dengan sendirinya atau dikuasai dengan serta-merta, tetapi melalui dan memerlukan latihan. Dalam kehidupan moderen, keterampilan berbahasa seperti itu sangat diperlukan. Namun dalam kenyataannya, pembelajaran keterampilan berbahasa kurang disenangi atau diperhatikan siswa karena para guru cenderung lebih memfokuskan diri pada penyampaian pembelajaran tentang bahasa daripada pembelajaran berbahasa. Kenyataan seperti ini tidak seluruhnya bersumber pada faktor siswa, namun faktor guru, terutama dalam hal cara penyampaian materi pembelajaran juga perlu mendapat perhatian serius. Mengapa Menulis Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dari tahun ke tahun mengalami degradasi. Degradasi penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya dilihat dari rendahnya siswa dan guru dalam melakukan interaksi proses pembelajaran di kelas, melainkan juga rendahnya hasil ujian nasional (UN) bahasa Indonesia bagi siswa dan uji kemahiran bahasa Indonesia (UKBI) bagi guru. Kenyataan yang ironik itu diungkapkan Rektor Universitas Muhammadyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Suyatno, ketika menyampaikan orasi ilmiah saat ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu pendidikan bahasa beberapa waktu yang lalu. Menurut Suyatno, rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia atau pendidikan bahasa akan sangat berdampak pada rendahnya kemampuan membaca dan kemampuan menulis. "Sangat jarang ditemukan siswa atau pun guru yang memiliki karya tulis yang berbobot dan memiliki nilai ilmiah dengan kualitas bahasa Indonesia yang tinggi," katanya. Menurut pandangan Suyatno, guru-guru sekarang dan akan datang seharusnya berada pada minimal tingkatan madya (skor 465-592) agar dapat berdampak pada pembelajaran bahasa Indonesia yang menyenangkan dan mampu meningkatkan nilai UN bahasa Indonesia yang akan datang, sekaligus mengefektifkan proses pembelajaran yang ada. "Seyogianya, kemampuan bahasa Indonesia yang baik atau unggul tidak hanya dimiliki guru-guru bahasa Indonesia, tapi juga guru-guru di luar bidang studi bahasa Indonesia. Mereka sejatinya juga Pembina bahasa Indonesia, sebab bahasa pengantar pembelajarannya menggunakan bahasa Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, seorang guru diharapkan memiliki empat kompetensi yang memadai, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Dengan penguasaan keempat kompetensi itu diharapan para guru dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Namun, kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru belum menampakkan keprofesionalannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban itu. Hal itu di antaranya disebabkan oleh lemahnya kompetensi pedagogik dan kompetensi preofesional yang dimilikinya. Berdasarkan pengamatan sehari-hari terhadap kompetensi para siswa, diperoleh informasi bahwa keterampilan para siswa dalam menulis masih jauh dari yang diharapkan. Kondisi semacam itu tentu saja disebabkan oleh banyak faktor: (i) rendahnya minat, budaya, dan kompetensi baca para siswa, (ii) kurangnya pelatihan menulis bagi para siswa, (iii) tidak tersedianya contoh dan keteladanan dari para guru, (iv) rendahnya kualitas pembelajaran keterampilan berbahasa, khususnya dalam keterampilan menulis, dan (v) faktor-faktor lain yang cukup banyak. Sebagai contoh, pembelajaran menulis yang dilakukan di sekolah-sekolah selama ini, pada umumnya, tidak didasarkan pada perencanaan yang matang. Biasanya tugas mengarang diberikan kepada siswa dengan memberikan judul, topik, atau tema tertentu. Tugas itu dapat dikerjakan di kelas atau di rumah. Jika tugas itu berkenaan dengan jenis karangan yang pendek biasanya siswa diminta untuk mengerjakannya di kelas. Apabila tugas itu berkenaan dengan jenis karangan yang panjang, biasanya siswa diberi waktu dua atau tiga hari. Hasil karangan siswa itu biasanya tidak diperiksa oleh guru. Seandainya diperiksa oleh guru pun tanpa didasarkan pada kaidah penilaian yang baku. Di samping itu, siswa tidak pernah mendapatkan umpan balik apa pun dari guru dan bahkan tidak pernah diberi kesempatan untuk mendiskusikan kekurangan dan kelebihannya. Kesempatan untuk kerja kolaboratif antarteman, saling mengoreksi, mengedit, atau menyunting, tidak pernah diberikan oleh guru. Di sisi lain, tugas mengarang pada umumnya sangat jarang diberikan kepada siswa. Dalam satu catur wulan atau semester siswa mendapat tugas mengarang hanya dua atau tiga kali. Hal itu tentu saja kurang memadai atau tidak sesuai dengan harapan yang tertuang dalam kurikulum yang tengah dimulai pemberlakuannya. Ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh kasus pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah. Berdasarkan ilustrasi di atas, pembelajaran di sekolah sebaiknya segera mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini diupayakan adanya suatu tindakan nyata melalui pelatihan agar para guru memiliki kompetensi yang memadai dalam melaksanakan perbaikan pembelajaran. Dengan kata lain, para guru akan mendapatkan langkah dan format yang tepat dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan siswa sesuai mata pelajaran yang diampunya. Menulis Satu Bentuk Komunikasi yang Efektif Aktivitas menulis sebagai suatu bentuk manifestasi kemampuan (dan keterampilan) berbahasa paling akhir dikuasai manusia setelah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. Kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal itu disebabkan kemampuan menulis menghendaki unsur kebahasaan dan di luar bahasa itu sendiri. Syafe'i (1988) menyatakan bahwa seseorang yang berbakat menulis atau tidak berbakat menulis sebenarnya sama-sama memiliki kesempatan untuk menjadi penulis. Kesempatan dalam belajar menulis lebih banyak dalam menentukan keberhasilannya menjadi seorang penulis. Namun demikian, walaupun pembelajaran menulis (mengarang) telah disa­dari sebagai bagian yang sangat esensial dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dalam kenyataannya pembelajaran menulis kurang mendapatkan perhatian yang sewajarnya. Pelly & Efendi (1992) mengatakan bahwa pelajaran membaca dan menulis yang dahulu merupakan pelajaran dan latihan pokok saat ini kurang mendapatkan perhatian, baik dari para siswa maupun para guru. Pembelajaran menulis selama ini tidak ditangani sebagaimana mestinya. Para siswa dan guru biasanya lebih memfokuskan kegiatan pelajaran pada materi-materi teoretik yang mengarah pada keberhasilan siswa dalam pencapaian nilai ujian nasional. Hal ini mengakibatkan keterampilan menulis para siswa tidak berkembang. Dengan tegas Badudu (1985) berpendapat bahwa rendahnya mutu kemampuan menulis siswa disebabkan oleh kenyataan bahwa pengajaran mengarang dianaktirikan. Ditambah dengan adanya anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa sebagian besar guru tidak mampu menulis dan menghasilkan karya. Ketidakmampuan guru menulis dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, minat rendah. Rendahnya minat menjadi salah satu faktor dasar yang menyebabkan guru tidak menulis. Motivasi menulis yang dimiliki guru masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan minat menulisnya. Kedua, tidak menguasai masalah yang dikaji. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah ada guru yang menulis, namun masalah yang dikaji masih tidak dikuasai. Dengan kata lain, masalah yang dikaji tidak terfokus. Ketiga, produktivitas rendah. Minat dan produktivitas berbanding lurus. Apabila minat menulis tinggi maka produktivitas tulisan juga tinggi. Sebaliknya, apabila minat menulis rendah maka produktivitas tulisan juga rendah. Keempat, lingkungan tidak mendukung. Situasi dan kondisi lingkungan tidak mendukung guru untuk menulis. Hal ini dapat dilihat masih kurangnya apresiasi positif, dari Pemerintah Daerah yang mendukung guru untuk berkarya. Kelima, cenderung plagiat. Adanya indikasi yang menunjukkan bahwa tulisan-tulisan yang dihasilkan guru cenderung plagiat. Ada kesamaan dengan tulisan yang dibuat orang lain. Sehingga tulisan guru masih jadi tanda tanya. Keenam, landasan teorinya lemah. Kurang membaca merupakan salah satu faktor yang menyebabkan landasan teori lemah. Hal ini disebabkan tidak adanya kajian perbandingan yang dilakukan saat menulis. Selain itu, tidak ada studi referensi secara mendalam sebelum menulis. Jika kita merujuk pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No. 19 Tahun 2009, menulis menjadi suatu hal yang wajib bagi guru. Ada tiga alasan, mengapa guru harus menulis. Pertama, pada abad teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, fungsi bahasa tulis sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan manusia. Kedua, hampir semua aktivitas manusia di berbagai sektor membutuhkan keterampilan menulis. Ketiga, sejumlah penemuan dalam berbagai ilmu pengetahuan “diabadikan” melalui tulisan, baik berupa artikel ilmiah, buku maupun yang lainnya. Sekarang dan ke depan pekerjaan guru tidak hanya melakukan kegiatan mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa melalui jalur pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi juga, guru dituntut mampu menyampaikan ide, gagasan, pendapat, dan penemuan dalam bidang pengetahuan yang “diabadikan” dalam tulisan. Dengan menulis guru dapat saling berbagi informasi, wawasan, dan pengetahuan dengan siapa saja tanpa batas. Tidak berlebihan ungkapan yang menyatakan bahwa dengan “menguasai keterampilan menulis, seseorang dapat berkomunikasi melampaui batas waktu dan ruang”. SEMOGA. DAFTAR BACAAN. Akhadiah, Sabarti, dkk. (1988). Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Badudu, Yus. (1985). Pelajaran Mengarang Di anak tirikan, Kompas, halaman 4, tanggal 21 Oktober 1985. Enre, Facrudin Ambo. (1988). Dasar-dasar Keterampilan Menulis. Jakarta: Ditjen Dikti. Kolam edukasi.kompas.com Nurgiyantoro, Burhan. 1999. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE, UGM. Pelly, Usman, dan Efendi, Rustam Amir. (1992). Pelajaran Membaca dan Menulis Harus Diutamakan Kembali, Kompas, halaman 12, tanggal 12 Maret 1992. Syaddad, Awaluddin. (2012) Menanti Implementasi Permenpan No.16 Tahun 2009, Makasar, Dunia Pendidikan No. 149, Maret 2012. Syafe'i, Imam. (1988). Retorika dalam Menulis. Malang: FPBS IKIP Malang. Zuchdi, Darmiyati. (1996). Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Proses. Pidato Ilmiah pada Sidang Senat FPBS IKIP Yogyakarta tanggal 15 November 1996.

0 komentar:

Posting Komentar