Jumat, 24 Agustus 2012

BUDAYA MENULIS DAN GURU PROFESIONAL

edukasi.kompasiana.com/.../budaya-menulis-dan-guru-profesional/

Menulis bukanlah hal yang asing bagi seorang guru. Terlebih bagi guru-guru yang sudah mendapat sertifikat pendidik dan diakui sebagai guru professional. Karena sejatinya kegiatan ini sudah dilakukan sejak mereka duduk di bangku kuliah sampai menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Begitupula tatkala mengikuti PLPG, salah satu kewajiban yang dibebankan kepada peserta adalah membuat Penelitian Karya Ilmiah dan Penelitian tindakan Kelas. Kedua tugas ini jelas terkait langsung dengan dunia kepenulisan.. Maka ketika PP No.74 tahun 2008 menyebutkan empat syarat sebagai kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang guru professional yaitu : Kompetensi pedagogic, kepribadian, social dan professional, itu berarti sebagai petunjuk yang jelas bagaimana seorang guru professional bersikap, berinteraksi dan mengoptimalkan kemampuan intelektualnya dalam keseharian mereka. Baik dalam konteks individu yang tercermin dari sikap, prilaku dan akhlak terpuji maupun dalam konteks social berupa kemampuan berkomunikasi secara lisan dan tulisan dengan murid, sekolah, orang tua dan masyarakat sekitar.

Keterampilan berkomunikasi pada ranah kompetensi social sebagaimana disinggung di atas secara langsung juga mengisyaratkan bahwa seorang guru harus cerdas tulis. Artinya guru dituntut untuk mampu menemukan ide- ide kreatif, kemudian diolah menjadi kalimat yang terstruktur rapi, sehingga menjadi sebuah tulisan yang inspiratif memberi pencerahan kepada siswa serta masyarakat luas. Karena kita menyadari sebagai makhluk social fungsi guru di era modern sekarang tidak lagi sebatas mengajar murid di sekolah melainkan bertambah menjadi motor penggerak perubahan di tengah-tengah masyarakat. Sebagai agent of change mau tidak mau seorang guru harus selalu berfikir selangkah lebih maju dibanding masyarakat awam. Berfikir lebih cepat dan kemudian mengkomunikasikannya ke khalayak ramai dengan benar.

Nah, dalam konteks komunikasi non verbal, - baca : tulis- inilah, seorang guru dapat mengasah kemampuannya dengan menempuh berbagai cara, diantaranya : aktif dalam mengelola mading sekolah, membuat blog pribadi di dunia maya, atau bahkan mengirim tulisan langsung ke koran, majalah atau jurnal-jurnal ilmiah untuk di publish. Karena semakin banyak guru-guru yang mau belajar dan menyisihkan waktunya untuk menulis akan semakin berdamfak positif bagi perkembangan pendidikan di negara kita. Paling tidak banyak ide dan pengalaman baru bisa di hadirkan sebagai upaya mengatasi kebuntuan dari stagnannya kualitas pendidikan kita selama ini.

Namun sayangnya dalam praktek dilapangan ternyata kita menemukan kenyataan yang sangat bertolak belakang dengan apa yang diuraikan di atas. Setidaknya sampai hari ini belum terlihat geliat kreatifitas para guru dalam menghasilkan karya tulis yang bermutu dan bermanfaat. Kalaupun ada cenderung didominasi oleh para dosen dari kalangan perguruan tinggi. Sementara untuk pengajar dari kalangan tingkat dasar dan menengah nyaris tidak terlihat gaungnya. Padahal di era tekhnologi sekarang perkembangan media informasi seperti surat kabar, majalah, bulletin, social media, baik cetak maupun on line sudah sedemikian majunya. Dan rata-rata semua media tersebut membuka peluang bagi siapa saja termasuk guru untuk mengisi rubric-rubrik yang memang disediakan untuk umum, seperti rubrik Suara pembaca atau rubric opini di harian Waspada misalnya.

Lantas mengapa itu terjadi ? Mungkin pertanyaan singkat ini kedengarannya sederhana. Tapi kalau mau dijawab tentu tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Ada beberapa factor yang ditengarai menjadi penyebab sehingga dunia tulis menulis ini kurang diminati para guru. Beberapa diantaranya : Tidak punya waktu, merasa tidak berbakat, sudah mencoba tapi tidak pernah dimuat, dan lain sebagainya.

Sepintas apa yang dikemukakan di atas memang bisa diterima akal. Mengapa ? Karena beban kerja guru memang terbilang cukup berat. Mulai dari mempersiapkan bahan ajar, menyampaikannya di depan kelas, melakukan evaluasi, sampai memberikan ujian remedial bagi siswa yang belum tuntas, itu sudah cukup menyita waktu mereka. Belum lagi ditambah urusan keluarga dan mencari penghasilan extra. Semuanya nyaris menyita seluruh energy guru sehingga pada akhirnya jadi kehilangan mood dan stamina untuk mulai menulis meski hanya satu atau dua halaman saja.

Selain daripada itu kita juga menyesalkan perhatian pemerintah yang selama ini terkesan acuh dan kurang peduli terhadap peningkatan kemampuan menulis para guru. Buktinya jarang kita dengar Depdiknas memanggil para guru untuk mengikuti diklat khusus seputar dunia kepenulisan dengan nara sumber yang kompeten. Hal mana juga dibenarkan oleh Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo yang mengakui rendahnya kemampuan guru dalam membuat karya tulis disebabkan oleh akses yang diberikan pemerintah dalam pelatihan kepenulisan sangat tidak memadai.

Begitupun tentang penerbitan bulletin atau majalah pendidikan, jumlahnya sangat kecil. Kalaupun ada biasanya terpusat di pulau jawa atau kota-kota besar. Sementara di daerah setingkat kabupaten / kota nyaris tidak terdata. Padahal dalam UU NO. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah jelas disebutkan tanggung jawab maju mundurnya pendidikan di suatu daerah bergantung sepenuhnya pada kebijakan pemerintah daerah itu sendiri. Artinya daerah memiliki kewenangan mutlak untuk meng-upgrade kualitas pendidikan di daerahnya dengan berbagai cara termasuk menyediakan akses bagi guru-guru yang memiliki talenta dan berkeinginan bisa berkontribusi bagi pendidikan lewat jalur menulis.

Jadi andaikata bupati atau walikota selaku kepala daerah berkenan dan mau menjadi fasilitator sekaligus donator bagi terbitnya sebuah majalah pendidikan di daerah yang dipimpinnya, ini akan menjadi wadah yang sangat efektif bagi guru untuk mengasah sekaligus menyalurkan pendapat maupun aspirasi mereka terkait kemajuan pendidikan di daerah tersebut.

Apalagi kalau kebijakan tersebut kemudian dibarengi dengan regulasi yang bersifat baku dalam bentuk pembinaan tidak bisa tidak pasti akan lebih memotivasi guru untuk berkecimpung dalam dunia kepenulisan.

Akan tetapi di atas semua itu, dengan atau tanpa support dari pemerintah sekalipun, semestinya seorang guru, terlebih yang sudah mendapat sertifikat pendidik, sebaiknya mulai mencoba meningkatkan kompetensi socialnya, khususnya pada indicator komunikasi tulis. Tujuannya agar predikat sebagai seorang guru profesional tidak hanya sebatas tulisan di atas kertas saja. Awalnya pasti sulit. Akan tetapi seiring perjalanan waktu semuanya pasti teratasi dengan baik. Sebab jangan lupa 99 % keberhasilan seorang penulis bukan dari bakat melainkan dari usaha keras dan bersungguh-sungguh. Paling tidak Boby De Porter sudah membuktikan kebenaran aksioma ini. Awalnya dia hanya seorang guru biasa. Tapi setelah Penelitian Tindakan Kelas ( PTK) yang ditulisnya bersama Mike Hernacki dengan judul Quantum Learning and Teaching diterbitkan dan meledak dipasaran, sosoknya spontan menjadi terkenal dan kaya raya.

Itu hanya satu contoh kecil. Dan tentu saja masih banyak contoh-contoh lainnya betapa menulis selain bisa mencegah kepikunan juga bisa membuat seseorang terkenal sekaligus jadi jutawan. Oleh karena itu tidak pernah ada kata terlambat. Menulislah sekarang dan yakinkan diri kesuksesan itu pasti datang meski cepat atau lambat. Mari kita jadikan menulis sebagai budaya yang kelak bisa diwariskan kepada anak-cucu kita. (***)

0 komentar:

Posting Komentar