Jumat, 24 Agustus 2012

GURU DAN BUDAYA MENULIS

Jevri Bolla,S.Pd.,M.Si*
jevriaja.guru-indonesia.net/artikel_detail-23612.html

Mengajar bagi seorang guru, bukanlah berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru rajin mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang membaca dan terus membaca, apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, ini yang agak sulit. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun buku-buku yang menjadi bahan ajarnya walaupun hal ini belum tentu benar dilakukan karena dia menganggap paling- paling bahan yang sama yang diajarkan setiap semester.

Jarang ia membaca buku selain buku yang menjadi bahan ajarnya. Betulkah guru malas membaca? Jika dijawab betul dan menganggap semuanya malas membaca pastilah keliru. Tak bisa semuanya disamakan seperti itu. Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran, sesekali membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku second yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali ada guru pesuka buku, terlebih lagi kutu buku, atau pelahap buku, jumlahnya sedikit. Berapa pastinya sulit diketahui karena subjektif. Kelompok pesuka buku ini secara ekonomi mau menyisihkan uang gajinya untuk memuaskan dahaga akalnya. Gajinya tak berbeda dengan guru-guru lainnya yang malas membaca. Bedanya, dia rela memotong gajinya untuk makanan otaknya. Selain itu, dia juga berupaya mendapatkan uang halal dari sumber-sumber lain, tak hanya mengandalkan gajinya. Bisa lewat warung kelontong, membuat wartel, atau berkirim artikel ke media massa. Guru yang demikian pantaslah menjadi motor motor masyarakat baca minimal bagi murid- muridnya.

Jika muncul suatu pertanyaan : Mengapa budaya menulis di kalangan guru masih rendah? Jawabnya bermacam-macam. Tetapi jawaban yang sering kita dengar adalah: tidak ada waktu atau karena banyaknya tugas guru di dalam maupun di luar sekolah (alasan klise). Di sekolah, guru harus melaksanakan tugas pokoknya yang berupa kegiatan pembelajaran. Di luar sekolah, guru harus mempersiapkan tugasnya yang berupa; menyusun program pengajaran, menganalisis hasil evaluasi belajar/praktik, menyusun program perbaikan dan pengayaan dan lain-lain. Belum lagi ditambah tugas kemasyarakat guru.

Benarkah guru tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa. Ironisnya lagi, untuk membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran saja banyak yang angkat tangan. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis – salah satu unsur pengembangan profesi- kalau mau cepat naik pangkat. Menurut kabar yang saya terima sewaktu mengikuti Workshop MGMP Bahasa Inggris SMK se-kota kupang pada tanggal 6-12 februari 2009 akan ada peraturan baru tentang kenaikan pangkat melalui angka kredit. Guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, Golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IVd ke IV/e =14.

Jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan, maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri, adalah sebuah upaya pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan guru itu sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus mau dan pintar menulis. Mengapa demikian? Guru sebagai subjek pendidik dan praktisi pendidikan tentu memiliki potensi menulis yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang sistem dan model pembelajaran yang dijalankan.

Guru bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang.

Banyak kendala yang mengahadang aktivitas menulis di kalangan guru. Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling anda. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.

Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walapun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham- penulis artikel kondang yang ratusan tulisannya terserak di Koran Suara Merdeka, Wawasan, Kaltim Pos, Solo Post dan sebagainya,-menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keuletan/ketekunan dan tradisi menulis yang kuat.

Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.

Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis. Menjadi guru dituntut mempunyai loyalitas yang tinggi. Loyalityas tersebut harus ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan. Namun yang terjadi, loyalitas sering disalah artikan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah mereka yang taat pada atasannya atau pimpinan organisasi, menurut saya adalah pandangan yang keliru. Loyalitas seperti ini akan membuatnya kehilangan keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijakan atasan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah guru yang menaati semua kemauan dan perintah atasannya telah berperan besar dalam membuat guru kurang berani menunjukkan otoritas pribadinya. Ia lebih terbawa pada arus pemikiran atasannya, ketimbang menuruti gagasannya sendiri, ia tidak produktif dan tidak kreatif. Ia terjebak dalam budaya ABS-asal bapak senang



Menulis itu gampang

Bila berbicara masalah menulis tentu pikiran kita tertuju pada pengarang-pengarang atau penulis-penulis terkenal. Bagi para pengarang menulis merupakan menu keseharian jadi menulis sangatlah mudah dilakukan bagi mereka. Lain halnya bagi seorang guru yang tidak terbiasa untuk menulis, dapat dibayangkan pasti seorang guru yang tidak terbiasa menulis akan merasakan bagaimana sulitnya merajut kata-kata dan mengemasnya untuk dijadikan sebuah tulisan yang menarik. Sebenarnya menulis itu gampang bagi siapa saja yang penting ada kemauan , minat dan juga ambisi yang terus menerus tanpa putus asa. Selain itu syarat utama bagi seseorang yang ingin menulis adalah bisa baca dan tulis. Lantas bagaimana caranya supaya bisa terampil menulis sebagaimana para pengarang pengarang atau penulis-penulis terkenal? Coba renungkan baik-baik tiga resep berikut ini:

Pertama,Memiliki keyakinan yang kuat untuk bisa menulis. Kita sadari bersama bahwa menulis sudah dapat dilakukan oleh siapa saja karena pekerjaan ini sudah dilakukan sejak kita duduk di bangku SD khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu mengarang. Jadi, setidak- tidaknya bagi siapa saja yang pernah duduk di bangku SD sudah barang tentu ia sudah pernah mengarang atau menulis, baik itu menulis suatu cerita, puisi, dialog, karangan, ataupun menulis hal yang lainnya. Dalam hal ini yang diperlukan dalam menulis saat itu bukanlah bakat yang istimewa namun lebih mengutamakan adanya keinginan dan minat yang besar untuk mau belajar, membangun kebiasaan menuangkan gagasan atau ide lewat tulisan.

Kedua, Jadikan menulis sebagai kebiasaan. Agar kemampuan menulis berkembang menjadi suatu kebiasaan, maka milikilah keinginan untuk belajar menulis. Tulislah apa saja yang bisa ditulis baik itu buku harian, memori, puisi, cerpen, artikel/esai, atau bahkan buku sekalipun. Apabila sudah sering menulis maka akan menjadi suatu kebiasaan tanpa beban sehingga pekerjaan menulis akan dirasakan sangatlah gampang. Kalau sudah demikian keadaannya, lambat laun “Menulis” akan menjadi budaya bagi para guru yang ingin mengembangkan potensi dan kualitasnya demi dunia pendidikan pada umumnya dan demi profesi keguruan pada khususnya.

Ketiga, Buatlah semacam “Daftar keuntungan “. Ketika kita menulis kita harus mempunyai keyakinan bahwa dengan menulis dapat memberikan kesempatan memperoleh honor atau uang, menjadi lebih dikenal orang, menjadi lebih dihargai orang, menjadi lebih dihormati orang, dan lain sebagainya.



Tiga hal inilah yang harus dimiliki dan diyakini oleh seorang yang ingin menjadi penulis. Apabila ketiga hal ini bisa dipahami dengan baik maka selanjutnya adalah mencoba mulai menulis. Arswendo Atmowiloto seorang pengarang terkenal di negeri ini dalam bukunya yang berjudul “Mengarang itu Gampang” mengatakan bahwa menulis itu dapat dipelajari melalui suatu proses.. Sudah barang tentu untuk menjadi seorang penulis tidaklah dengan proses yang cepat dan mudah. Yang terpenting dalam hal ini seorang penulis harus mempunyai minat dan ambisi terus-menerus yang tak mudah patah, tak kenal putus asa. Menulis sesuatu memang tidak mungkin sekali jadi, harus melalui proses pembelajaran . Jadi, jangan pernah berhenti atau menyerah jika karangan tulisan yang dibuat belum berhasil, hilang, atau dikembalikan dari redaksi misalnya

Pada dekade tahun 1987 ada seorang wartawan berasal dari yogyakarta bernama Mardjuki yang selalu mengemukan filosofi yang sangat bagus kepada penulis pemula pesan ini diambil dari tiga kata dalam bahasa jawa yang di kenal dengan tiga N yaitu : Niteni, Niroke, Nambahi ketiga kata ini lebih lanjut diartikan sebagai : mengamati, meniru dan menambahi. Pesan yang pertama (niteni) seorang yang akan menulis dan yang nantinya menjadi penulis harus dapat menjadi seorang pengamat terlebih dahulu, pengamat yang dimaksud adalah pengamat tentang karya tulis sejenis (yang diminati) yang beredar di masyarakat sebagi contoh kalau menulis dengan tujuan untuk mengarang artikel, cerpen, novel, atau buku maka salah satu yang perlu diamati untuk mendukung kegiatan ini adalah berbagai karya tulis yang senada dengan karya tulis yang diinginkan tersebut. Filosofi dari pesan yang ke dua (nirokke) adalah dalam belajar menulis jangan segan- segan meniru tulisan pengarang- pengarang yang sudah terkenal. Yang dimaksud meniru disini bukan dalam pengertian menjiplak. Hal yang ditiru sebaiknya jangan kata- perkata atau kalimat perkalimat namun logika dan sistem pola pikirnya yang harus diikuti. Itupun kalau bisa, kalau merasakan ada kesulitan dalam meniru suatu karya maka carilah buku lain yang lebih mudah untuk dicerna bacaannya dan mudah ditiru. Jadi dalam hal ini jangan bosan-bosan bagi seseorang yang ingin menulis untuk mencari referensi buku sebanyak- banyaknya agar dapat memiliki wawasan yang luas dalam menulis.

Ada beberapa pengarang novel terkemuka di Indonesia, yang pada awalnya adalah sebagai penterjemah novel-novel sejenis. S. Mara Gd. misalnya. Kalau tak salah ia semula adalah penterjemah berbagai karya pengarang misteri Agatha Christie. Lama kelamaan ia menjadi paham bagaimana menggambarkan karakteristik tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah novel misteri dan juga alur cerita yang dibuat. Dari sinilah ia mulai untuk mengarang novel sendiri dengan menggunakan perspektif budaya lokal dalam karangannya. Pada titik inilah ia tidak lagi hanya sekedar nirokke saja tapi sudah menjadi tahap yang ketiga yaitu nambahi, namun penambahan yang dilakukan dengan keunikan-keunikan tersendiri. Menyatakan pikiran sendiri dalam arti bersetuju, menolak, atau menambahkan pandangan pribadi atas pendapat tokoh-tokoh yang dikagumi merupakan beberapa cara untuk menyempurnakan tahap nambahi. Nah, bagi siapa saja yang baru pada tahap penulis pemula, ingatlah pesan Mardjuki ini :

Niteni, Nirokke, Nambahi

Dari uraian ketiga pesan praktis di atas, apabila dipelajari dan kemudian dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, mudah- mudahan menulis akan menjadi sangat gampang bagi siapa saja. Rasanya kalau disuruh untuk mencetak seseorang menjadi pengarang belumlah ada mesin yang mampu mengerjakannya namun dengan belajar , mengikuti pelatihan atau seminar, kemudian dipraktikkan dengan mencoba untuk menulis, maka cara ini merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menciptakan iklim sebagai seorang penulis. Iklim sangat membantu seseorang yang benar-benar ingin menjadi seorang penulis, karena kemungkinan untuk menjadi pengarang barang kali jarang terlintas pada diri seseorang. Dengan iklim yang ada disertai dengan petunjuk praktis yang mendukung, dapat mengembangkan bakat dan minat dalam menulis pada siapa saja. Bahkan apabila memang menguntungkan bagi seseorang, iklim akan tercipta dengan sendirinya untuk benar- benar membawa menjadi seorang penulis yang produktif dan profesional sesuai dengan harapan.

Selamat Menulis

*Penulis adalah Guru pada SMK Negeri 1 Kupang

2 komentar:

Rosmalinda Aziz mengatakan...

Luar biasa. Tulisan panjang tapi tidak membuat bosankan. Sangat menginspirasi buat saya sang pemula Niteni, Nirokke dan Nambahi😊😊😊

Deby Boby mengatakan...

luar biasa bapa....saya sangat termotivasi....

Posting Komentar