Minggu, 26 Agustus 2012

Dear Diary, Aku Kembali!

Sumber: lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/09/.../dear-diary-aku-kembali/ Berita Politik Humaniora Ekonomi Hiburan Olahraga Lifestyle Wisata Kesehatan Tekno Media Muda Green Lipsus Fiksiana Freez Home Lifestyle Catatan Artikel Annisa F Rangkuti TERVERIFIKASI Jadikan Teman | Kirim Pesan Penikmat tulisan dan karya fotografi. Mari menulis mimpi di http://annisarangkuti.wordpress.com 0inShare Dear Diary, Aku Kembali! OPINI | 10 September 2011 | 22:58 Dibaca: 370 Komentar: 51 3 dari 4 Kompasianer menilai inspiratif 13156702164020760 http://tinyurl.com/3plrwhe SEBENARNYA siang itu saya tak berniat apa-apa selain menemani adik saya ke toko buku. Lumayan, sekalian melihat-lihat buku keluaran terbaru. Banyak sekali buku yang menggiurkan ternyata. Memaksa saya menimbang-nimbang prioritas antara membeli buku dengan memenuhi kebutuhan lain lalu mencocokkannya dengan kecukupan nominal di dalam dompet. Ah, kali ini saya tak memaksa. Lagipun, buku terbaru penulis-penulis favorit saya baru saja terbit dan sudah saya koleksi. Kalaupun ada buku yang sebenarnya ingin saya beli, lebih baik menunggu kapan-kapan saja. Saya pun beralih ke bagian stationery. Banyak barang-barang lucu yang dipajang. Ketika di rak notes atau buku catatan, saya teringat akan satu keinginan yang pernah terbersit di benak saya. Saya ingin memiliki buku harian (lagi). Terakhir kali saya mencatat situasi keseharian dengan tulisan tangan adalah ketika saya duduk di bangku kuliah lebih dari 7 tahun yang lalu. Setelah itu saya vakum. Benar-benar vakum dari kegiatan tulis menulis buku harian atau diary. Kalaupun ada, hanya sesekali dan cukup terselip di selembar dua lembar buku catatan kuliah. Tidak khusus, sehingga catatan-catatan itu acap kali terserak entah kemana. Setelah sekian lama, ada kerinduan akan kehadirannya. Laksana kerinduan akan sahabat lama. Meski saya tak menyapa sahabat lama saya itu dengan sapaan “Dear Diary” -hahaha…- , tapi adanya buku catatan harian yang cukup tebal dan sederhana itu mampu berperan sebagai tempat curahan suka dan duka di kala lidah tak sanggup untuk berkata pada siapapun juga. Ah…puitis sekali. Maka saya pun memilih-milih model buku catatan yang menarik dan mengundang selera saya untuk menulis. Buku catatan yang isinya betul-betul terjaga kerahasiaannya dari siapapun juga. Bedanya dengan diary-diary remaja saya, kali ini diary itu tak berkunci dan bergembok. Hahaha… Dan lagi, isinya pasti dengan bahasa yang lebih dewasa dan kalem, seperti catatan ini. Sebenarnya ada sebentuk keprihatinan -begitukah?- di balik keinginan saya kembali pada sang diary. Memang di zaman sekarang sudah banyak fasilitas jejaring sosial yang memungkinkan kita untuk berbagi (pikiran) apa saja yang kita mau. Mau curhat? Boleh. Mau marah-marah? Boleh. Mau mesra-mesraan? Boleh. Mau ledek-ledekan? Boleh. Apa saja. Semaumu. Boleh di Facebook, boleh di Twitter, atau jejaring sosial lain yang mungkin belum saya kenal namanya. Tapi seiring dengan ke-boleh-annya itu, sudah pasti ada dampaknya. Ini mungkin cerita basi yang tak pernah usang. Buktinya masih ada sampai sekarang. Tak usahlah saya berpanjang kata lagi tentang akibat yang ditimbulkan dari celoteh (negatif) kita saat memperbarui status di Facebook atau ketika berkicau di Twitter. Apalagi bila celoteh berbumbu emosi negatif itu menyangkut diri orang lain. Bila tak hati-hati dan berpikir panjang akan akibatnya, alamat kekisruhan akan menanti. Kita boleh saja memaki-maki seseorang di media online itu tanpa ada yang tahu kepada siapa makian itu dituju. Atau mengeluh sepanjang hari tentang hal-hal yang paling sepele sekalipun. Paling-paling teman-teman yang membaca status atau tweet kita melabel diri kita sebagai orang yang pemarah, temperamental, dan pasti kurang menyenangkan sebagai teman. Lebih kacau lagi bila kita menunjuk langsung pada target. Konflik terbuka pun akan segera meledak. Orang lain yang tak bersangkut paut pun tahu. Seluruh dunia tahu. Tak ada lagi privasi. Tak ada lagi ruang pribadi yang memungkinkan kita bercengkerama hanya dengan diri kita seorang. Apa enaknya seperti itu? Saya rasa, kita tetap perlu media “tradisional” -ah, ini cuma istilah saya- yang memungkinkan kita untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Terlepas dari kecenderungan kepribadian introvert atau ekstrovert, tapi bagi saya diary bisa menjadi sahabat, tempat curahan hati terdalam yang tak bisa tergantikan oleh siapapun -kecuali Tuhan. Di sana tertulis mimpi besar yang terpendam. Ada keinginan-keinginan yang tak terwujud. Ada hasrat-hasrat terdalam yang tak muncul di dunia nyata, alam sadar kita. Ada diri kita yang sebenarnya, yang terwakili oleh goresan-goresan tangan buah hati dan pikiran. Ada harapan-harapan. Juga ada do’a. Percayalah. Selain sebagai sarana berlatih menulis, goresan tulisan tangan di diary lebih mujarab sebagai terapi jiwa di kala kita sedang dibebani masalah. Tulisan tangan yang rapi dan indah di kala emosi bahagia pasti akan terlihat berbeda dengan tulisan ketika kita sedang kesal atau marah. Tulisan tangan itu sekaligus menjadi semacam indikator emosi. Dan di saat yang bersamaan, beban jiwa akibat emosi-emosi yang tidak menyenangkan itu berkurang dengan sendirinya. Bukan mustahil jika kemudian solusi, semangat dan motivasi baru untuk bangkit muncul. Jika ada Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), maka diary menjadi pertolongan pertama bagi keterpurukan jiwa akibat beban masalah. Setelah itu jiwa kita jadi lebih tenang dan fokus dalam mencari solusi masalah yang sebenarnya. Mari, menulis (diary) lagi!

0 komentar:

Posting Komentar