Jumat, 31 Agustus 2012

FATIH: LEBAH YANG INGIN MEMBUKA ZAMAN

ranting-basah.blogspot.com/.../fatih-lebah-yang-ingin-membuka-zam... "Sombong adalah menyembunyikan kebenaran dan meremehkan orang lain" Bagi saya, ini catatan yang cukup penting. Ini tentang sejarah dan cita-cita. Sejarah dan cita-cita bagi saya selalu penting, karena mencakup masa lalu dan masa depan; dua masa yang punya ikatan pertalian ketika mereka disatukan dalam satu simpul bernama "siklus". Yang lebih penting lagi, ini tentang sejarah dan cita-cita saya. Sebagian pembaca saya, beberapa waktu yang lalu menanyakan hal serupa, "Kenapa sih nama Fatih Beeman diganti jadi Fatih Zam?". Banyak pertanyaan lain lagi yang serupa dengan pertanyaan barusan. Untuk menjawab satu per satu, rasanya terlalu banyak energi yang mesti saya keluarkan. Maka, pertanyaan-pertanyaan itu saya tangguhkan untuk kemudian saya jawab kini. Nama Fatih Beeman maupun Fatih Zam, adalah nama pena saya di dunia persilatan dan kepenulisan. Waktu saya lahir, pada 11 MUharram, 24 tahun yang lalu, ibu saya memberi saya nama Fatih. Hanya 5 huruf. Rupanya, nenek saya tercinta memiliki harapan lain dengan cucu yang lahir prematur ini. Konon, nenek saya punya seorang kawan yang sangat ia kagumi. Kawan nenek itu seorang juragan emping yang kaya raya. Namanya Atih, dia seorang perempuan. Karena nenek saya termasuk orang yang keukeuh, maka sesuka-suka nenek memanggil saya dengan panggilan 'Atih'--lama-lama, sifat keukeuh dan kadang mau menang sendiri itu menular kepada saya. Panggilan itu pun melekat pada saya. Nenek, ibu, abah, dan saudara-saudara serta tetangga memanggil saya 'Atih'. Kata mereka, itu adalah panggilan kesayangan buat saya (sama halnya Cecep yang dipanggil Encep, dsb). Parahnya lagi, karena saya lahir dan besar di kampung, saya tidak punya akta kelahiran sejak saya orok (di Menes, 'orok' bukan untuk bayi yang baru lahir, melainkan untuk menyebut identitas asal. Misalnya 'orok Menes', 'orok Dahu', artinya anak dari kampung Menes atau Dahu). Jadilah waktu saya masuk SD (belum ada TK waktu itu di kampung saya), terdaftarlah saya sebagai 'Atih', bocah dekil item dan mungil. Bagian administrasi sekolah pun mencatatkan nama saya sebagai 'Atih'. Saya pun pelan-pelan menikmati nama panggilan kesayangan dari nenek itu--sekaligus cita-cita nenek agar saya jadi orang kaya, barangkali demikian. Kronisnya lagi, tidak ada yang hafal tanggal berapa di kalender masehi waktu saya lahir, termasuk orang tua dan nenek. Ibu saya hanya ingat kalau saya dilahirkan pada Selasa, pukul 9 pagi. Saat itu di kampung sedang ada perayaan membuat bubur suro' (perayaan ini dilaksanakan pada 10 Muharram). Dan saya lahir pada keesokan harinya, 11 Muharram. Lalu, tanggal 12 Juni yang tercantum di ijazah saya itu berasal dari mana? Itu kreasi ibu guru saya. Karena tidak ada akta kelahiran, dan memang rata-rata orang tua di kampung saya abai dengan itu, maka anak-anak di kampung memiliki tanggal lahir hasil pemikiran taktis wali kelas 1 di SD Dahu 2. Tanggal 12 Juni pun jadi tanggal lahir saya. Tanggal yang saya jadikan lapak bagi sesiapa untuk menyimpan doa buat saya di hari milad. Atau tanggal yang saya jadikan identitas dalam administrasi akademik. Saya pun lulus SD. Dulu, saya mengagumi seorang seniman pencak silat di kampung saya. Dia teramat mahir menabuh kendang, pencak silat, meniup terompet, bahkan ngabodor (melawak). Namanya Ardi, saya memanggilnya Mang Ardi (masih hidup ketika catatan ini dibuat). Saya akhirnya meminta wali kelas saya untuk menambah nama 'Ardi' di belakang nama 'Atih'. Guru kelas 6 saya, Pak Jajang Suhendi, menyetujui pinta saya. Sehingga, di ijazah SD saya--dan seterusnya--tercantum nama Atih Ardiansyah. 'Ardiansyah'? Ya. Mang Ardi yang saya kagumi itu kadang suka dicemooh oleh sebagian warga kampung. Saya yang masih belia kala itu tidak ingin mengalami nasib serupa. Hingga nama 'Ardi' itu saya kreasikan menjadi 'Ardiansyah'. Oke, cukup sampai di sini. Kembali ke nama Fatih Beeman dan Fatih Zam. Kelas 3 SMA, saya bergabung dengan Rumah Baca plus Baitul Hamdi, di kota Menes, Pandeglang. Di sana, saya ikut kelas menulis yang diasuh oleh Ibnu Adam Aviciena dari Rumah Dunia. Di Rumah Dunia, lazim peserta kelas menulis memiliki nama pena. Itu karena anjuran Gol A Gong. Kata Gol A Gong, nama pena adalah hasil imajinasi. Sebelum memasuki dunia imajinasi, Gol A Gong menyilakan peserta kelas menulis untuk berimajinasi tentang nama pena (filosofi, cita-cita, dll). Ibnu pun menganjurkan demikian. Maka, saya peras otak saya untuk mencari nama pena. Tercetuslah ide untuk mengembalikan nama saya yang sebenarnya: Fatih. Nama yang tidak mungkin saya bangkitkan dari kubur setelah catatan administrasi saya liput dengan nama Atih Ardiansyah. Nama Fatih pun saya pilih, dengan nama belakang Beeman. Kenapa 'Beeman'? Saat itu saya berprofesi sebagai marketer majalah Islam di sekolah. Ragam majalah saya jual, seperti Ummi, Sabili, Annida, Paras, Saksi (Alm.), dan lain-lain. Nah, nama 'Beeman' itu saya temukan di Majalah Sabili (saya lupa edisi berapa). Beeman adalah nama keren dari manusia lebah. Saya pun membuat catatan puitis tentang Beeman atau lebah ini, yakni: memasukan yang baik, mengeluarkan yang baik; hinggap di bunga, tak mematahkan tangkainya (penjabaran lain dari hadis Nabi Saw). Mulai saat itu, nama Fatih Beeman pun melekat sebagai nama kedua saya--meski pada akhirnya menjadi nama utama saya. Sejak menjadi marketer majalah dan membaca-baca isinya, saya seperti terrasuk pengaruh dan bisikan: suatu saat, majalah-majalah itu harus ada nama Fatih Beeman sebagai salah satu penulisnya. Saya pun terus belajar di Rumah Baca pus Baitul Hamdi, dan kadang ke Rumah Dunia. Usaha itu tidak sia-sia. Pada 2007, cita-cita saya mengembalikan nama Fatih tercapai kala buku pertama saya terbit. Judulnya Beginilah Seharusnya Hidup. Susul menyusul kemudian, Beginilah Seharusnya Cinta, 4 Seri Novel Inspirasi Nabi (Yusuf Sang Pejuang Mimpi, Daud Sang Pemenang, Musa Sang Penantang Arus, Sulaiman Sang Penakluk Hati), Quantum Inspirasi, Saatnya yang Muda yang Harus Kaya, dan lain-lain. Artikel-artikel yang dimuat di beberapa media semacam Pikiran Rakyat, Majalah KHAlifah, dan sebagainya, saya memakai nama Fatih Beeman. Semakin ke sini, saya menyadari tulisan-tulisan saya--saya rasa--berbeda dengan karakter 'Beeman'. Entahlah, saya mengandaikan Beeman sebagai sosok yang (sok) bijak dan menginspirasi. Ketika saya memutuskan melebarkan saya ke ranah fiksi, gaya menulis yang sok menggurui itu masih melekat. Saya pun bertekad 'melengserkan Beeman ke Prabon' dan menggantinya dengan nama lain yang memiliki pesan kuat serta melekat di kalangan pembaca buku saya. Saya pun mulai mencari nama pena lain. Bagi saya, nama sangat berpengaruh. Tak cuma menggambarkan karakter, tetapi juga berdampak ganda: sebagai doa, dan alat jualan, hehehe. Saya pun merenung dan sesekali bertanya kepada rekan, kiranya nama apa yang layak menjadi nama belakang 'Fatih'. Tasaro GK, yang belakangan menjadi sahabat sekaligus kakak, menyarankan saya untuk menggunakan nama Fatih Rakatau. Saya pun memikirkan saran Tasaro. Tapi, saya belum bisa menangkap apa maknanya. Saya pun merenung lagi. Terbersit keinginan mengambalikan Mang Ardi ke dalam nama saya. Hingga nama yang saya kreasikan pun Fatih Ardh. Tapi, Tasaro bilang, nama itu justru lebih gak nyeni. Dalam kesempatan berinteraksi dengan Pak Bambang Trim, yang saat itu sebagai GM Tiga Serangkai, dan saya menulis novel pertama untuk TS, saya meminta saran beliau untuk mengisi kekosongan nama belakang yang ditinggalkan 'Beeman'. Beliau pun meminta waktu sepekan untuk saya. Sampai akhirnya, beliau menyarankan saya memakan nama Fatih Zam. "Tadinya mau saya kasih Fatih Gamalama, Mas. Tapi udah kepake duluan sama Dorce," begitu canda Pak Bambang. Saya pun menanyakan apa makna nama Zam. "Zam adalah zaman. Fatih Zam adalah nama yang berdoa, agar penyandangnya menjadi penulis yang menaklukan dan membuka zaman dengan karya-karya bermutu dan membangun." Wow, dalam sekali maknanya. Saya pun langsung setuju dengan nama itu. Selang empat bulan, novel pertama dengan nama Fatih Zam pun terbit. Judulnya "Khadijah (Mahadaya Cinta)", terbit di Tiga Serangkai. Saya pun harus membangun nama Fatih Zam. Saya terus berkarya. Saya terus belajar dari kesalahan dan keteledoran. Mengingat nama Fatih Zam baru memiliki satu buku (dan low explosive), saya pun mencoba mengenalkan nama serta karakter Fatih Zam melalui tulisan-tulisan di Facebook atau pun blog (www.ranting-basah.blogspot.com). Alhamdulillah, seiring waktu yang terus menggelinding, nama Fatih Zam pun mulai dikenal orang (sebagai teman curhat di FB, teman menggalau, dll). Insyaallah, awal 2012, saya dengan nama Fatih Zam akan meluncurkan novel kedua. Novel silat berbalut kronik Jawara-Ulama di Banten ini saya juduli "Jawara, Angkara di Bumi Krakatau". Sebagai syukuran atas 'kebangkitan' nama Fatih Zam, seluruh royalti novel ini dihibahkan ke Rumah Dunia. Rumah, di mana dahulu saya digembleng menjadi penulis. Kini, saya cukup enjoy dengan nama Fatih Zam. Saya bercita-cita membuka zaman baru, zaman yang lebih baik. Tentu saja dengan cara seperti lebah: memakan yang baik, mengeluarkan yang baik; hinggap di tangkai bunga, tak mematahkannya. Saya mengucapkan terima kasih kepada arsitek-arsitek yang telah mendesain dan memahat saya: Gol A Gong, Ibnu Adam Avicienna, M. Irfan Hidayatullah, Bambang Trim, Tasaro GK. Saya bangga bisa mengenal mereka. Saya berjanji, akan menjadikan pahatan mereka sebagai amal jariyah bagi mereka, dengan terus berkarya membuka zaman yang lebih baik. Aamiin. ::catatan Hijrah Fatih Zam 15-12-11

0 komentar:

Posting Komentar