Jumat, 31 Agustus 2012

MENULIS SEPERTI DONOR DARAH

Sumber: indonesiabuku.com/?p=1330 Kecanduanku menulis surat pembaca sudah kumulai sejak aku usia 20 tahun. Saat itu sekira tahun 1973. Aku melihat sederet pohon palem muda tak terurus, kering dan meranggas di alun-alun utara Solo. Lalu aku tulis surat pembaca ke harian Suara Merdeka. Ternyata dimuat. Dan tak lama kemudian aku melihat tanaman itu nampak disirami dan terawat. Momentum ini yang menuntunku menjadi seorang pecandu surat pembaca, epistoholik orang menyebutnya. Menulis surat pembaca memiliki sensasi tersendiri. Ia unik:pendek, menggigit, dan pesannya harus segera sampai. Selain topiknya yang harus selalu mutakhir, ia juga bisa segera ‘diledakkan’. Hasil atau dampaknya juga bisa segera diketahui. Lihat saja, semua perusahaan yang menganggap brand atau merek dagang sebagai sesuatu yang mesti dijaga, pasti menganggap surat pembaca sebagai sesuatu yang layak diwaspadai. Sekali nama mereka tercoret, ribuan orang mengetahuinya. Demikian juga dengan pemerintahan. Surat pembaca menjadi semacam kontrol dari warga untuk setiap kebijakan yang ada. Melalui surat pembaca, mereka tahu kekurangan dari kebijakannya dan segera melakukan perbaikan. Surat pembaca sendiri sebenarnya merupakan bagian dari demokrasi. Bagiku, menulis surat pembaca sebenarnya adalah upaya untuk ikut meriuhkan demokrasi. Surat pembaca sudah seperti jurnalisme warga. Akifitas jurnalisme warga adalah penyampaian berita atau informasi melalui surat Pembaca. Menyampaikan berita, gagasan, atau protes melalui surat pembaca, bagiku adalah cara berdemokrasi yang elegan, melalui tulisan. Adu otak, bukan adu otot. Menulis surat pembaca bagiku, seperti tetesan air di permukaan batu. Kalau terus saja menetes, permukaan batu itu kelak akan menjadi berlubang, tak terasa. Dengan frekuensi pemuatan yang bisa lebih sering dibanding pemuatan opini, aksi berderma ilmu yang dilakukan dengan cinta itu akan membuahkan sesuatu umpan balik yang tak terkirakan di masa depan. Aku tak akan berhenti menulis surat pembaca. Lagi dan lagi. Surat pembaca dan internet Kolom surat pembaca di media cetak tentu terbatas untuk menampung semua surat yang masuk. Kehadiran internet memberi tawaran lain untuk mendorong aktivitas jurnalisme warga. Blog dan email adalah alternatif untuk menyuarakan gagasan lebih luas dan lebih sering. Karena itu aku kemudian mendirikan JEI (Jaringan Epistoholik Indonesia) dan memulai komunitas on line. JEI bukan sebuah organisasi, ini hanya sebuah wahana bersosialisasi, bertukar gagasan, berasaskan saling asah, asih dan asuh. Semangatnya egaliter. Menulis surat pembaca yang ditulis rakyat biasa dengan bahasa sederhana tanpa banyak hiasan kata hampa. Sebagai pendiri komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, aku ingin setiap orang itu menjadi penulis surat pembaca yang merangkap sebagai blogger juga. Fenomena ini ideal dan bagus bagi demokrasi. “Dengan mata yang cukup, kutu pun bisa ditemukan dengan mudah.” Demikian bunyi Hukum Linus, yang diambil dari nama Linus Torvald, penemu piranti lunak open source Linux yang fenomenal. Ia sengaja membuka kode peranti lunaknya itu kepada masyarakat luas sehingga dapat segera ditemukan kutu-kutunya, yaitu cacat, kekurangan, dan kemudian upaya ramai-ramai memperbaikinya. Bila semua warga menjadi pelaku jurnalisme warga, mekanisme check and balances dalam kehidupan bernegara, menjadi berjalan. Asal anomali parah seperti kasus yang menimpa Prita Mulyasari dan Khoe Seng Seng dkk. itu tidak terjadi lagi, di mana mereka yang menemukan “kutu-kutu” ketidakadilan dan kecurangan justru terancam ditendang masuk penjara. Aku sendiri memelihara 15 blog dengan isi yang beragam. Mulai dari kumpulan surat pembaca, puisi anak-anak, sampai kenangan akan kekaguman pada sosok gadis di semasa mudaku. Pada tahun 2004 dengan peranku sebagai pendiri komunitas Jaringan Epistoholik Indonesia (JEI) yang mengusung resolusi untuk membangun lebih dari seratus blog epistoholik telah memenangi Mandom Resolution Award 2004 (PT Mandom Indonesia Tbk, Jakarta). Menulis itu berderma pengetahuan Awalnya aku tak menulis surat pembaca. Saat SMP aku menulis puisi dan cerpen. Ketika puisiku dipajang oleh guru di papan majalah dinding, itu momen yang menggetarkan sekali bagiku. Ada sensasi yang kunikmati ketika tulisanku dibaca orang lain. Sejak itu aku mulai berani mempublikasikan tulisanku. Tulisan pertamaku yang dimuat di media kubuat sekira tahun 1968. Aku mengirimkan lelucon ke majalah Kartika Chandrakirana, majalahnya ibuku sebagai istri TNI-AD. Lelucon itu dimuat, dapat honor. Rp. 200,00. Aku memang suka sekali menulis. Aku juga suka sepakbola, maka saat itu aku sering menulis reportase pertandingan sepakbola. Sesudah menguping radio tetangga saat siaran pertandingan sepakbola, aku tergerak untuk menuliskannya. Waktu SMP dan STM Negeri 2 Yogyakarta,aku menulis lelucon untuk majalah Aktuil dan Varia Nada. Waktu kuliah di IKIP Surakarta (saat itu)/UNS Sebelas Maret, pernah menulis artikel sosial di majalahnya ITB, Scientiae. Pernah juga aku menjadi wartawan lepas, menulis tentang musik dan teater di Solo. Juga mengirim berita budaya ke Kompas sampai menulis cerpen ke Sinar Harapan dan majalah Gadis. Hingga sekarang, tulisanku masih sering muncul di kolom Teroka Kompas, Tabloid Bola, dan juga Solo Pos. Dan tentu saja beberapa kolom surat pembaca di Jawa Tengah. Buah dari kebiasaan menulis itu pernah termonumenkan dalam buku Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987), Bom Tawa Antar Bangsa (USA, 1987) dan Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati : Kesaksian Seorang Suporter Pasoepati (2004, belum diterbitkan). Menulis bagiku bukan sekedar bergaya pamer pengetahuan atau menyehatkan pikiran. Menurutku, dengan menulis, kita berderma pengetahuan. Akumulasi pengetahuan yang ada pada diri kita bertambah awet dan bertambah banyak ketika kita membagikannya. Aku ingat wejangan mantan Hakim Agung Bismar Siregar ketika menjadi finalis Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I)-nya Indosat di Jakarta, Tahun 1999. Beliau bilang, mengutip perkatan salah seorang ‘Ulama klasik (Ibnul Qayim aljauziyah), bahwa setetes tinta dari penulis itu lebih mulia dibanding darah yang tercurah dari para syuhada. Membaca dan menulis seperti donor darah Kebiasaanku menulis barangkali terdorong dari kegemaranku melahap bacaan. Saat aku bersekolah di SD Negeri Wonogiri 3, klas 4-5, tahun 1963-1964, aku sudah mulai membaca. Aku membaca komik cerita Baratayudha, Siti (Wonder Woman) Gahara, dan Serial Nogososro-Sabuk Inten. Komik-komik itu memiliki kenangan kuat antara aku dan ayahku mengenai buku. Ayah bertugas di Yogya. setiap Sabtu pulang ke Wonogiri. Kalau ada buku yang ingin kubaca, aku tulis di carik kertas data bukunya, lalu diam-diam kumasukkan ke kantong bajunya. Minggu depan, aku berharap memperoleh bacaan baru ketika ayah pulang. Aku mengikat cinta dan hormat terhadap ayah melalui buku. Tapi sebenarnya yang mengenalkan aku pada bacaan justru nenek dan pamanku. Di rumah nenek di Kedunggudel, Sukoharjo ada tumpukan buku dan majalah Sosiawan (Depsos) dan Penyebar Semangat milik Pakde (paman) yang seorang guru. Bacaan itu yang membuat kunjungan ke rumah nenek sebagai kegiatan favorit. Kemampuan membacaku juga berawal dari rumah nenek. Sebelum SD, di rumah nenek, ada Pak Lurah mengajakku untuk melihat papan peraga yang digunakan para tuna aksara, warga buta huruf, untuk belajar membaca. Maka aku pun mulai belajar membaca dari peristiwa itu. Membaca bagiku adalah membuka diri untuk memperoleh virus-virus wawasan baru. Untuk terus-menerus mendidik diri sendiri. Aku ingat nasehat John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001), ”Leave school early, if you want, but never stop learning,” tegasnya. Menulis dan membaca lekat sekali kaitannya bagiku. Menulis dan membaca itu seperti aktivitas metabolisme dalam tubuh. Dengan menulis, aku seperti melakukan aksi donor darah. Darahku disedot secukupnya melalui menulis, syukur-syukur kalau bisa secara teratur. Kemudian saat aku membaca, seolah aku memperoleh darah-darah yang baru untuk mengalir di tubuh ini. Karena itu membaca dan menulis membuatku senantiasa bugar. Selain jalan pagi dan menjauhi tembakau tentu saja. (Seperti diceritakan Bambang Haryanto pada Redaktur Indonesia Buku, Diana AV Sasa) * Tulisan dibuat sebagai hadiah ulang tahun ke 56 Pak Bambang Haryanto dan ucapan terimakasih atas kesediaannya memberi motivasi pada anak-anak Pakisbaru saat peluncuran buku dan peresmian Gelaran Buku Pakis, beberapa waktu silam.

0 komentar:

Posting Komentar