Senin, 27 Agustus 2012

MENJADI GURU PRODUTIF

Sumber: komunitaspendidikan.com/index.php/forum/...guru-produktif/420 Oleh Saiful Mustofa* "Ikatlah ilmu itu dengan tulisan"-Ali bin Abi Thalib Menjadi seorang guru memang bukan profesi yang mudah. Untuk menjadi seorang guru menurut Oemar Hamalik dalam Ngainun Naim, (2009) dibutuhkan berbagai persyaratan, yaitu harus memiliki bakat sebagai guru, memiliki kepribadian yang baik dan terintegrasi, memiliki mental sehat, dan berpengetahuan luas. Belum lagi, dia juga harus mendedikasikan dirinya secara totalitas sebagai figur pendidik dan teladan. Apalagi tanggung jawab besar sebagai penentu maju mundurnya anak bangsa salah satunya juga terletak pada sejauhmana peran guru dalam kancah pendidikan. Meski bukan satu-satunya faktor tunggal, akan tetapi fakta menunjukan bahwa guru adalah faktor yang determinan. Selain itu, jika mengacu pada konsepsi Earl V Pullias dan James D Young dalam Rekonstruksi Pendidikan Nasional (2009) maka lebih berat lagi. Sebab menurutnya, guru tidak hanya sebatas teladan, tetapi seharusnya mampu menjadi makhluk yang serba bisa. Artinya, guru harus senantiasa mendorong bergeraknya proses pertumbuhan murid secara gradual, antara lain, (a) guru dapat hadir bila pelajar memerlukan untuk mendengarkan dan memahaminya, (b) guru dapat mencoba memberi suatu pengalaman yang luas yang memungkinkan pelajar mengadakan evaluasi mengenai dirinya dalam hubungan dengan keberadaanya, pernah menjadi apa dan akan menjadi apa, (c) guru dapat belajar untuk membantu pelajar memeriksa keadaan (situasi) dengan bebas dan jujur dari pelbagai sudut pandang, dan masih banyak lagi yang lainya yang tidak bisa saya kutip semua di sini. Tapi yang jelas, semua itu sudah menjadi sederet perjuangan yang harus dilalui bagi yang bercita-cita mulia menjadi seorang pendidik atau guru. Namun jika mengaca potret pendidikan saat ini dengan semakin kompleks dan sengkarutnya permasalahan yang ada, tampaknya tugas seorang guru tambah lebih berat lagi. Bagaimana tidak, ada yang mengatakan dengan lantang bahwa pendidikan kita tidak menganjurkan bagaimana mencintai membaca dan menulis. Tak pelak, seketika perkataan itu menyentil telinga kita, apalagi bagi para praktisi pendidikan. Sebab tidak bisa ditawar lagi kalau kedua aktivitas itu adalah pakem dalam pendidikan. Sehingga tanpa adanya kedua hal itu, sudah barang pasti pendidikan akan pincang-untuk tidak menyebutnya menemui kematian. Barangkali perkataan itu memang tak berlebihan. Sebab asumsi semacam itu bertumpu pada realitas masyarakat kita, terutama pelajar yang kurang menaruh minat besar pada aktivitas membaca, terlebih menulis. Meskipun masalah minimnya minat membaca dan menulis merupakan masalah klasik akan tetapi sampai detik ini permasalahan itu masih belum ada titik terangnya. Dan setidaknya, memang dunia pendidikanlah yang berpotensi besar untuk menyuguhkan penyelesaian tersebut. Guru Berkarya Muridpun Mengikutinya Menurut Deddy Mulyana (2004) bahwa jumlah buku yang terbit di Jepang, 44.000 judul setiap tahun (termasuk 21.000 terjemahan), sementara di Amerika Serikat 100.000, judul dan di Inggris 61.000 judul setiap tahunya, sedangkan di Indonesia 2500 judul setiap tahun. Rentang perbandingan jauh tersebut menunjukan betapa masih rendahnya iklim penulisan buku di masyarakat kita dan belum mengakar di lingkup pendidikan kita. Pun jika diruntut sengkarut permasalahan itu, juga dimulai dari indikasi minimnya minat baca masyarakat kita pula. Padahal sejak pertama kali menginjakan kaki di bangku sekolah formal, kita tidak bosan-bosanya selalu diingatkan agar sebanyak dan sesering mungkin membaca, membaca dan terus membaca. Ya, memang seperti itulah pesan para guru saya dulu yang sampai detik ini masih melekat di memori saya. Tapi, dengan terbongkarnya ingatan saya mengenai pesan para guru untuk selalu membaca itu, secara spontan juga membuat saya terusik membongkar-bongkar ingatan lain yang sudah mengkarat. Memori itu tentang motivasi menulis. Hampir setelah berhari-hari bahkan berminggu-minggu menguras semua yang ada di benak, tetap tak saya temukan ingatan tentang motivasi menulis tersebut. Tanpa bermaksud menjustivikasi, hal itu berarti memang para pendidik kita mungkin lupa akan pentingnya motivasi menulis. Apalagi contoh langsungnya, tentu masih menjadi sesuatu yang asing di lingkup pendidikan formal kita. Artinya, seorang guru tidak hanya sebatas memberikan motivasi menulis akan tetapi juga harus menyuguhkan teladan berupa produktivitas menulis. Sebab motivasi dan teladan adalah sebuah entitas yang tak bisa dipisahkan. Jika boleh agak pragmatis, bukankah mulai tahun 2013 nanti, salah satu prasyarat kenaikan pangkat seorang guru, minimal harus pernah sekali menulis artikel populer di koran regional ataupun nasional. Nah, berarti sudah jelaskan manfaat dari menulis. Jadi, jika seorang guru sudah mampu istiqomah berkarya, maka bukan tidak mungkin muridnya pun akan mengikutinya. Bayangkan saja, misalkan jika dalam setiap sekolah katakanlah ada satu orang guru yang produktif menulis, sedangkan kita ibaratkan untuk jenjang SMP dan SMA total sekolah keseluruhan se-kabupaten ada tiga puluh. Itu berarti sudah ada tiga puluh penulis dalam sebuah kota. Belum lagi, jika masing-masing guru tersebut, setidaknya bisa menumbuhkan karakter produktif menulis pada satu siswa per periode angkatanya, maka setiap tahunya akan tercipta tiga puluh embrio penulis muda. Sungguh luar biasa bukan. Mungkin bagi sebagian orang hal itu seperti sebuah ekspektasi yang berlebihan. Tapi, jika seorang guru benar-benar berkomitmen keras menjalaninya maka bukan mustahil itu akan menjadi nyata adanya. Bahkan, lebih filosofis, seorang penulis pada dasarnya adalah guru bagi banyak orang. Dia memiliki murid yang tak terbatas jumlahnya, yang tak terbatasi pada umur, ras, agama, tingkat pendidikan dsb. Seluruh lapisan masyarakat dengan suka rela bisa dan boleh mengaku berguru kepada penulis tertentu. Sebab karyanya tersebar luas kemana-mana dan siapapun berhak mengenyamnya (Lasa Hs, 2005). Memberdayakan Siswa Melalui Menulis Pernahkah terbesit dipikiran kita untuk menjadi seorang penulis? Pasti, kebanyakan menjawab tidak. Karena mungkin profesi sebagai penulis dianggap pekerjaan yang remeh, dan tak menjanjikan. Lantas, apa hubunganya memberdayakan siswa dengan menjadi seorang penulis? Seorang guru yang inspiratif selalu mampu menyuguhkan suatu hal yang berbeda dan menarik pada siswanya. Maka suatu hal yang menarik itu adalah mentradisikan menulis kepada para siswanya. Karena dengan mengajak para siswanya membiasakan diri untuk menulis, pada dasarnya mengajak mereka peka terhadap realitas di sekitarnya. Mereka akan memikirkan dan menganalisis pelbagai permasalahan yang timbul, setelah itu menyiduknya untuk dikaji kemudian menawarkan solusinya kehadapan khalayak melalui karya tulisanya. Ini hampir sama dengan salah satu strategi mengajar dalam perspektif kontruktivisme yaitu elicitasi: siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lainya. Lebih dari itu, ada sebuah kisah menarik tentang seorang guru yang inspiratif, sebut saja Erin Gruwell. Dia memperoleh tugas mengajar yang boleh dikatakan amat berat. Sebab selain siswanya katanya "bodoh" dan tidak disiplin, para siswa yang diajarnya itu juga tempramental, dan selalu rusuh. Untuk menghadapi siswa yang semacam itu dia membuat "kurikulum" sendiri dengan model dan muatan yang tidak biasa. Kurikulum tersebut berisi tentang pengetahuan hidup. Dimulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, lalu mereka dibagi dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya", mereka harus mendekati garis. Mereka diajukan pertanyaan-pertanyaan ringan mengenai album musik kesayangan, keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat tawuran antar geng. Walhasil, kreativitas yang dibangun Erin Guwell itu mampu menghasilkan perubahan secara menakjubkan. Para siswanya yang penuh masalah itu akhirnya menjadi relaks terhadap guru dan teman-temanya. Kemudian guru inspiratif tersebut membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Lalu anak-anak itu dimintai menulis kisah hidupnya, dengan sebebas-bebasnya. Hasilnya sangat mengagumkan. Ternyata siswa yang urakan dan dinilai bodoh tersebut memiliki potensi yang terpendam. Tulisan mereka akhirnya disatukan, dan diberi judul Freedom Writers (Ngainun Naim, 2009). Nah, singkat kata, mengajak siswa untuk mentradisikan menulis adalah tugas mulia seorang guru. Karena itu adalah salah satu cara untuk memberdayakan dan menjadikan mereka manusia yang lebih berharga. Atau setidaknya, seorang guru juga bisa meneladani sikap seorang filsuf kontroversial Nietzche yang sering dikaitkan dengan post-modernisme. Dia tak pernah putus asa, terus menerus berfikir dan menulis, sebab katanya, dia memang tidak hanya menulis untuk zamanya, melainkan juga untuk abad berikutnya (St. Sunardi, 1996). Akhirya, menulis itu bukan profesi yang tak berharga, sebab belum tentu semua orang bisa melakukanya. Hanya satu dari sekian banyak orang yang berani menekuninya, bahkan menjadikan sebagai jalan hidupnya. Karena menulis tidak hanya sekedar bermain tanda, tapi tentang keajegan dan kesetiaan untuk terus berkarya. )*Penulis adalah Aktivis Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung.

0 komentar:

Posting Komentar