Sabtu, 25 Agustus 2012

Guru dan Profesionalisme Pinggiran

edukasi.kompasiana.com/2012/.../guru-dan-profesionalisme-pinggira...

Terlepas dari kontroversi yang menyertai pelaksanaannya, UKG sedikit banyak member gambaran nyata tentang kualitas pendidik di tanah air. Potret buram kualitas pendidik ini memang bukan sesuatu yang baru lagi. Beberapa riset dan survey menunjukkan hal yang sama tentang kualitas guru Indonesia.Beberapa tahun yang lalu juga para guru pengampu mata pelajaran UN diucicobakan dengan soal yang sama dan rerata yang didapat tidak melampaui 50. Hasil UKG 2012 sebagaimana diirilis oleh kemendikbud juga menunjukkan setali tiga uang. Bahkan,konon ada yang mendapat nilai 0. Dan rerata UKG 2012 secara nasional juga tidak beranjak dari angka 50!.

Kenyataan diatas semakin menambah daftar panjang persoalan yang menderita pendidikan kita dewasa ini. Dengan tidak mengenyampingkan persoalan infrastruktur,persoalan kualitas pendidik justru membawa effect yang sangat krusial terhadap peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Meski Persoalan kualitas pendidik tidak bisa berdiri sendiri,namun tetap saja kualitas yang membedakannya.

Kalau diruntut ke belakang, rendahnya mutu guru dipicu oleh praktek-praktek tidak “profesional” dalam perekrutannya. Sudah bukan rahasia umum lagi jika kebutuhan guru di suatu jenjang pendidikan dicomot begitu saja. Cukup membuat lamaran-bahkan banyak yang tanpa melalui lamaran- seseorang bisa menjadi guru dan mengampu suatu mata pelajaran. Sekolah penerima tidak perlu mengadakan test kompetensi apalagi fit and proper test karena banyak dari mereka menjadi guru karena hubungan saudara,kolega bahkan pertimbangan sederhana semacam rumahnya yang berdekatan dengan sekolah. Dan penulis termasuk yang mendapat kemudahan semacam ini.

Disisi lain,pola perekrutan Pegawai Negeri Sipil Guru dikala booming otoda juga terkesan asal-asalan. Menjamurnya praktek KKN kala itu menyebabkan kualitas menjadi tidak begitu penting. Uang dan koneksi menjadi unsur utama pendorongnya. Banyak guru-guru yang berkualitas tersisih karena system ini. Parahnya lagi,banyak guru muncul by condition bukan by design,cukup “membeli” Akta IV mereka kemudian beramai-ramai menjadi guru!!!. Lagi-lagi banyak dari mereka diuntungkan oleh praktek KKN!!!

Persoalan diatas juga diperparah oleh Macdonalisasi pendidikan bahkan sampai tingkat kecamatan. Disisi akses pendidikan tinggi, memang ada sisi baiknya (mudahnya mendapat layanan pendidikan tinggi),namun kelebihan ini tidak dibarengi dengan kualitas pembelajarannya. Kelas-kelas jauh menjamur,orang/guru dapat dengan begitu mudahnya memperoleh gelar S.Pd atau gelar-gelar lainnya. Bahkan ada banyak yang tanpa melalui kuliahpun mereka mendapat gelar semacamnya.Karenanya gelar mereka pun kemudian diplesetkan menjadi Sarjana Patang puluh Dino (S.Pd:sarjana 40 hari).Bahkan dewasa ini cukup banyak guru yang bergelar M.Pd.M.Mpd,M.Si,M.M,M.Ag,M.S bahkan gelar bergensi dari luar negeri sekalipun!.Semoga gelar mereka bukan abal-abal yang didapat dikelas jauh.

Ternyata persoalan guru tidak hanya berhenti di tahap penyiapan dan perekrutannya.Namun kondisi yang lebih para justru terjadi setelah mereka resmi menjadi guru. Berada di comfort zone dengan status PNS,gaji bulanan,jaminan masa tua, membuat sebagian guru menganggap sudah akhir dari perjalanannya. Saat itulah banyak guru yang telah berhenti belajar,karena bagi mereka tanpa belajarpun mereka tetap digaji bahkan dinaikkan pangkatnya. Kondisi merasa puas dengan kemampuan yang telah dimiliki inilah yang menjadikan kualitas guru tersebut jalan di tempat.Iktiarnya untuk meningkatkan kompetensi diri sangat terbatas.Banyak waktu di ruang-ruang kelas dihabiskan hanya sekedar mengejar target kurikulum. Waktu diluar kelasnya,yang sepatutnya dimanfaatkan untuk pengembangan diri dan profesionalisme nya justru banyak terkuras pada kepentingan non akademik. Dulu,alas an kerja sampingan menjadi sangat rasional mengingat kecilnya gaji mereka.Namun,saat mereka mendapat tunjangan sertifikasi dan gaji yang tinggi alasan semacamnya menjadi tidak produktif lagi bahkan terkesan menyepelehkan profesi keguruannya yang telah memberi kesejahteraan yang lebih baik bagi mereka.Terlebih lagi mereka sebagai abdi Negara berpredikat PNS!. Untuk non PNS apalagi guru-guru sekolah kecil,banyak imbalan mereka hanyalah ungkapan terima kasih dan keikhlasan,kerja sampingan mungkin bisa dimaklumi.

Dalam proses pembelajaran di kelas, banyak dari kita (guru) yang kurang memberikan perhatian serius kepada peserta didik. Memahamkan siswa akan suatu pengetahuan menjadi tidak penting lagi karena target kurikulum telah menjadi tujuan hadirnya mereka di ruang-ruang kelas.Banyak dari kita (guru) yang menjadi kurang “telaten” terhadap keberagaman kemampuan siswa. Generalisasi perlakuan pada siswa menjadi jalan tercepat menghabiskan lembar demi lembar LKS dan buku paket. Banyak dari kita akhirnya terjebak dan menjadi budak buku (book’s slave) semata. Pembelajarannya minim kreatifitas dan inovasi,monoton dan membosankan.Karena banyak yang masih menyakini jika mengajar (teaching) sama dengan belajar (learning). Padahal tidak selamanya mengajar sama dengan belajar bagi anak didiknya.

Up grading guru adalah salah satu jalan meminimalkan efek negative kualitas pendidik ini. Dan salah satu hal yang akan banyak membantu diantaranya adalah optimalisasi MGMP sekolah dan atau matapelajarn. Inilah sarana ilmiah yang memungkinkan bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya melalui kegiatan ilmiah sejawat. Selama ini kegiatan MGMP banyak diisi oleh kegiatan yang kurang efektif, seharusnya dari MGMP ini guru belajar lagi tidak hanya sekedar membuat RPP,melainkan juga melakukan inovasi pembelajaran melalui lesson study,class activities,atau pembauran metode mengajar. Dari sinilah kemudian lahir guru-guru yang benar-benar memahami fungsi utamanya di kelas,dari sinilah kemudian guru lebih punya banyak waktu dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas profesionalismenya,pedagogis dan lainnya.Masih banyak lagi upaya lainnya,namun MGMP dirasa lebih muda dijalankan.

Thus, masihkah kita mau berada di pinggiran profesionalisme?masihkah kita menyepelehkan profesi dengan tidak mau bergerak maju dan memperbaiki kualitas diri?padahal dari profesi inilah kita menghidupi diri dan keluarga?tidak samakah kita dengan para koruptor yang menggarong uang rakyat?semoga kita bisa belajar dari keterpurukan kita ini…..keep on moving guys!!!!Lupakan hasil UKG kita, ayo terus belajar dan belajar!!!!!!ayoooook

0 komentar:

Posting Komentar