Sabtu, 18 Agustus 2012

Mengikat Makna Kalam Ilahi (4.3)
Oleh: Hernowo

BERGURU. Hernowo. Ya Hernowo penulis puluhan buku. Hernowo ‘petinggi‘ penerbit raksssa Mizan. Adalah Kang Asep, Manajer Bandung Book Center, teman baru saya, Selasa, 13 Oktober 2009, menghubungkan dengan penulis buku sohor Menulis Mengikat Makna tersebut. Bertemu dengan Hernowo, tentu menyenangkan. Saya suka tulisannya. Dia penulis produktif. Sekalipun belum pernah bertemu, dia motivator saya.

Saya ingin bertemu, berguru. Penasaran dengan bukunya, Andaikan Buku Sepotong Pizza. Termotivasi. Lalu, bertekad lebih hebat. Kenyataannya, saya telah menulis sepuluh buku tentang menulis (saja). Hernowo menulis menunaikan ibadah haji. Saya ingin bertanya, kenapa bisa sebagus itu? Lagi pula, tidak paham, banyak orang mendengung-dengungkan menulis dengan hati. Apa iya bisa sih?

Menulis dengan Pikiran
Mas Her, saya merasakan sentuhan qalbu ketika Sampeyan menulis refleksi haji. Bagaimana menurut Sampeyan tentang menulis dengan hati? Pertanyaan saya dijawab serius: “Kita tidak bisa menulis dengan hati, kita menulis dengan otak”. Kami sepakat. Dalam bahasa saya, menuliskan apa yang ada di pikiran.

Mas Her kemudian bicara panjang lebar, dari prinsip-prinsip menulis sampai aplikasi. Satu hal, setiap orang harus menemui makna dalam dirinya, dalam pikirannya, menjadi menulis mengikat makna. Dalam historiografi saya ingat apa yang disebut meaning, historiografi yang bagus adalah yang meaningfull.

Hal mendasar yang kami tidak berbantahan adalah, kesemua itu dimulai dari membaca, banyak membaca. Dari yang tersurat dan tersirat, dari bacaan teks sampai bacaan dari alam, dari ciptaan Allah SWT. Perbincangan lebih sejam tersebut, memastikan, Hernowo ‘Raja Baca’.

Persimpangan terjadi ketika Hernowo membuka ‘resep’, adakalanya tulisannya dibaca sampai 17 (tujuh belas) kali. Dengan membaca ulang, merevisi, akan ditemukan visi baru yang akan memberi makna lebih dalam. Perbedaan kami, pada sisi ini, bak siang dengan malam. Saya tidak mau, atau katakanlah enggan membaca tulisan yang sudah ditulis. Mana tahu, ke depan secara perlahan mampu ‘merevisi’ agar lebih bermakna. Itulah gunanya sharing.

Perintah Allah, Perintah Rasulullah
Sebagai ‘murid’ saya tentu bukanlah penganut paham, guru adalah ceret, murid adalah cangkir dimana guru menuangkan ilmunya. Karena itu tidak tidak perlu repot-repot meminta kiat-kiat dalam merealisasikan ‘proyek besar’, menciptakan ‘Teori Menulis’ berbasik, perintah Allah SWT, membaca, dan perintah Rasulullah, menulis. Rangkaian tulisan saya terakhir bermuatan hal tersebut sebagai langkah awal.

Bagi Hernowo, setiap orang harus menggali, dan atau, mengeksploitasi potensi diriya. Karena itu dia tidak mau menggurui; temukan dalam diri masing-masing makna dan pemaknaan menulis. Bagi saya, setiap manusia telah dititipkan potensi ketika roh ditiupkan. Dalam bahasa agamawan, Asmaul Husna. Menulis mengembangkan potensi diri, karena itu tidak perlu ‘berguru’. Titel blog saya, dan buku terbaru tentang menulis, Menulis Tanpa Berguru.

Pertama ke Bandung, saya yang gandrung membaca tulisan Mahbub Junaidi mendatanginya dan ‘berguru’. Prinsipnya sama, setiap orang, harus mengembangkan potensi dirinya. Penulis yang suka ‘meneror pikiran’ tersebut, pada pengantar buku ‘Binatangisme’, terjemahan Annimal Farm, Goerge Owell, menulis: Para jenius Inggris, justru ke luar dari universitas. Setelah ‘mempersetankan’ sekolah formal, akhirnya saya berlabuh di S3 UPI. Pikiran Ivan Illic dalam Deschooling Society, tidak cocok dengan saya.

Oh ya, secara jujur kepada Hernowo diutarakan, betapa saya bangga bertemu dengannya, satu diantara sekian penulis yang saya kagumi. Tentu banyak hal yang kami bicarakan, termasuk reading society yang membuat kami prihatin. Kami sepakat, memotivasi atau katakanlah ‘kampanye’ penggiatan membaca dan menulis harus dilakukan berkelanjutan. Hernowo paham betul, maklum dia adalah petinggi perusahaan penerbitan raksasa Tanah Air.

Ketika Hernowo menekankan dia tamatan ITB yang tidak memepelajari secara formal kebahasaan, saya mencamkan maknanya. Menggali potensi diri dan mengembangkannya, itulah yang penting. Membaca kuncinya, melakukan menulis aksinya.

Semoga Allah SWT memberi kemudahan niat saya, mengembangkan ‘cara’ menulis, Menulis Makna Kalam Ilahi. Amin.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Banjarbaru, 16 Oktober 2009.

0 komentar:

Posting Komentar