Jumat, 21 September 2012

IRONIS, GURU PENULIS BUKU, ANGGAP MUTU BUKU PELAJARAN "TIDAK PENTING"


Sumber: edukasi.kompasiana.com/.../ironis-guru-penulis-buku-anggap-mutu-..

Saya sebenarnya paling tidak suka menulis “mengkritisi” tulisan Kompasianer lain, tetapi karena kali ini (menurutku) menyangkut hajat mutu pendidikan di Indonesia (bahasa apa pula ini), maka dengan sangat terpaksa hal yang kemarin hanya uneg2 sehabis membaca tulisan perdana seorang Kompasianer dengan nickname Guru Swasta, maka hari ini uneg2 itu saya keluarkan. Bukan bermaksud mencari pembenaran, tetapi memang ini bukan masalah yang sepele menurut ku.

Bagaimana tidak heran, dan tidak habis fikir, seorang guru www.kompasiana.com/guruswasta dalam tulisan nya (yang oleh admin di ketegorikan inspiratif), menguraikan kan kiat2/cara menulis buku yang mana dengan caranya, ybs telah berhasil menulis 5(lima) buku pelajaran sekolah dalam satu bulan. Ruaaar biasaaa. Bahkan guru swasta ini merasa telah “berhasil” secara finansial. Monggo silahkan2 saja menangguk finansial, tetapi pasalnya adalah cara yang di gunakan untuk “memproduksi” buku sebagai sumber finansial itu yang pantas di sesalkan. Ironis sekali, bagaimana bisa seorang guru, seorang pendidik yang harusnya berperilaku mulia dan bermartabat, ternyata dalam “menulis buku pelajaran”, yang ia lakukan adalah akal2an (ini dia katakan sendiri dalam tulisannya).

Perhatikan : yang dilakukan pertama adalah membuat buku sebagai master, yang dia istilahkan sebagai buku indukan, (dia katakan didapat dari penulis lain ataupun dari masa perkuliahan), selanjutnya dari buku indukan ini dia rubah sedikit2, kalimatnya dibolak balik, jadilah buku baru, dia katakan dengan caranya ini satu buku indukan bisa menjadi 3buku, 5buku, 10 buku dst, dan diedarkan sebagai buku “baru”. Jadi jika murid (yang di harap sebagai konsumen) membeli buku itu, yang di beli adalah buku “baru” yang sebenarnya adalah buku yang isi dan kandungannya tak jauh beda dengan buku2 lama. Dan yang paling membuat kita muak adalah dengan terang2an Guru Swasta berkata dalam tulisannya : “Mutu tidak begitu penting dalam buku pelajaran , . . . . . . . . . .”, modar.

Dan ketika di“komantar kutanyakan : “bagaimana anak didik bisa maju, jika buku yang di gunakannya mengabaikan mutu”, serta merta selalu “ngeles” dan ku-ulang2 sampai tiga kalipun, pertanyaanku tak bisa dia jawab. Mau bilang apa kita sekarang, jika seorang penulis buku pelajaran (yang sekaligus Guru), dalam menulis buku yang ada dibenaknya hanyalah “bagaimana caranya mendapatkan finasial semata” lain tidak. Yang menjadi “korban” adalah konsumen (murid sekolah), dan orang tuanya yang (bisa jadi harus dengan susah payah) merogoh kocek dalam2 untuk membelikan buku anaknya. Dan pada gilirannya yang menjadi korban adalah dunia pendidikan anak bangsa, mau jadi apa anak2 kita kalau buku2 yang seharusnya mencerdaskan mereka ternyata adalah buku2 yang bahkan oleh penulisnya diakui tidak bermutu.

Dia kisahkan ditulisan itu , menulis buku karena sebagai Guru Swasta, merasa dipinggirkan oleh pemerintah, dan dengan pendapatannya yang kecil, maka menjelmalah dia sebagai penulis buku pelajaran dengan cara akal2an tadi. Diluar sana ada jutaan Guru Swasta dengan pendapatan kecil pula, tetapi saya haqulyaqin masih sangat banyak guru2 swasta yang bermartabat, mereka tak menggadaikan predikat Guru nya, tak pula berperilaku “akal2an” hanya demi beras dan sebongkah berlian (pinjam istilahnya lagu bang Toyib). Satu hal lagi, untuk ADMIN KOMPASIANA, agar lebih jeli membaca setiap tulisan sebelum menyematkan predikat apapun, sehingga tak terjadi lagi tulisan yang menyesatkan semacam itu mendapatkan predikat INSPIRATIF. Lalu menurut ADMIN, inspirasi apa yang bisa diambil dari cara menulis buku dengan cara tdak baik ini. Bagaimana caranya ADMIN mempertanggung jawabkan, jika kiat akal2an cara menulis buku ini di tiru banyak orang, dan beredarlah buku baru abal2, bisa di bayangkan akan seperti apa kwalitas anak didik bangsa ini?

0 komentar:

Posting Komentar