Sabtu, 08 September 2012

MEMBUDAYAKAN (MELATIHKAN/MEMBIASAKAN) MEMBACA DAN MENULIS

Sumber: padang-today.com/.../11042011131638emma-ok.swf?...CacheBagikan Oleh : H. Sutan Zaili Asril Budaya membaca -- khususnya dalam konteks belajar/menangkap arti dan makna dari lingkungan alam dan mengikuti perkembangan. Jadikan Guru atau lebih masuk dalam perspektif tradisi lisan. Hanya saja membaca dalam konteks buku/hasil penelitian (semacamnya) dan mengikuti perkembangan aktual sesuai bidang minat/pengabdian dari mana saja (juga internet), membiasakan membahas/mempertanyakan atau mendiskusikannya belum memadai. Lalu, kebiasaan menulis -- minimal dalam konteks/pengertian "menuliskan" dan apalagi menuliskan pemikiran dan ide/gagasan serta konsep/formulasi -- masih perlu penguatan. Apalagi di sekolah-sekolah -- apalagi di pendidikan tinggi. Membangun generasi yang memiliki kebiasaan membaca/mengikuti perkembangan/menggali informasi dari mana saja (dan internet) dan terbiasa pula menuliskannya mungkin memang tidak mudah. Selain itu, juga menerima respon dari sesama rekan mantan aktivis mahasiswa -- terutama yang di atas dan seperiode serta di bawahnya Agaknya, darah sebagai salah seorang yang mengklaim diri pernah jadi aktivis (pelajar/mahasiswa) -- bahkan dengan segala risiko/konsekuensi logis/implikasi, mungkin Cucu tak begitu menyadari kalau usia sudah relatif tua -- di atas 40 tahun (pada tahun 1999, sudah 44 tahun), tapi, masih merasa muda. Masih merasa bersukacita/berbahagia bergaul dengan aktivis mahasiswa dan pengurus organisasi pemerintahan mahasiswa tersebut. Selain itu -- secara jujur, Cucu Magek Dirih memang berkepentingan. Maklum ia dipercaya mengelola Harian Pagi Padang Ekspres yang baru diterbitkan. Dengan mengakses tokoh/pimpinan organisasi, Cucu mendapat berbagai masukan berguna bagi pengelolaan sebuah suratkabar harian. Secara oknum, Cucu berniat menjadikan Padang Ekspres sebagai kesempatan berbuat bagi masyarakat daerah/kemajuan daerah Sumatera Barat -- lebih dari sekedar menjadi praktisi manajemen usaha media massa dan pedagang media. Di atas segala/berbagai keterbatasan, Padang Ekspres berusaha eksis dan survive sekaligus menunjukkan mampu berbuat memajukan daerah/mencerdaskan kehidupan masyarakat daerah ini -- termasuklah Cucu di dalamnya yang merasa-rasa sendiri ikut berbahagia/bersukacita atas yang dapat/telah dilakukan. Konsekuensinya, Cucu meluangkan diri tampil berbicara/berceramah/menjadi panelis/pemakalah -- terus terang tanpa dibayar. Bagi Cucu, diberi ksempatan berbicara di hadapan mereka saja sudah amat bernilai/lebih dari berpikir untuk dibayar. Di antara materi yang paling banyak diminta/disampaikan Cucu Magek Dirih dalam banyak kesempatan adalah tentang pers/wartawan-kewartawanan dan tulis-menulis. Dengan penuh gairah, Cucu memberikan semangat/motivasi/konfidensi kepada para mahasiswa, khususnya, bahwa mereka harus menulis. Bahwa menulis itu ketrampilan -- bakat memang agak lebih dibutuhkan pada penulisan karya ststera. Bahwa menulis bagian dari daya atau kemampuan/ketrampilan dasar yang harus dimiliki kalangan terdidik (well educated) -- tak semata-mata menulis buku/menulis artikel/menjadi wartawan. Bahkan, Cucu berusaha meyakinkan, bahwa menulis itu gampang -- mengutip seniman dan wartawan Arswendo Atmowiloto. Jika menulis sebuah ketrampilan, maka berlaku pula prinsip latihan dalam rupa pengulangan/intensitas -- pasa jalan dek batampuah/lanca kaji dek baulang. BEGITULAH, pekan lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM-FISIP) Universitas Andalas (Unand), Cucu Magek Dirih memberikan materi dengan topik "Kepana Kita Harus Menulis" di depan peserta (dari berbagai fakultas di lingkungan Unand) pelatihan Membentuk Intelektual Kritis. Gagasan tentang pelatihan datang dari BEM FISIP Unand. Ketika Presiden BEM FISIP Unand Papang datang ke kantor, Cucu Magek Dirih meminta agar topiknya tentang Kenapa (Mahasiswa) Harus Menulis. Alasannya, lebih awal dari daya atau kemampuan menulis dalam berbagai bentuk adalah minat/motivasi. Minat/motivasi menulis tersebut yang harus diperkuat dan di-drive, sampai posisi "tak ada pilihan"/mau tidak mau kaum intelektual dan cendekiawan harus mampu/trampil menulis! Dalam paparannya, Cucu Magek Dirih menabrakan menulis dengan tradisi lisan. Karena ketiadaan tradisi mencatat atau menulis, segala hal mengenai Minangkabau ada di berbagai perpustakaan dan dokumentasi di Negeri Belanda -- seakan kalau mau tahu tentang sejarah dan bahan tertulis tentang Minangkabau dalam berbagai apsek harus dicari di perpustakaan dan dokumentasi Negeri Belanda. Artinya, tradisi lisan (ketrampilan bicara) memiliki kelemahan tidak tercatat/tidak terdokumentasi. Pada dasarnya kita harus bisa menulis -- sejak semula mengikuti pendidikan dasar kita mengikuti pelajaran membaca dan menulis. Hanya, pengertian membaca dan menulis berhenti pada "sudah bisa" membaca/"sudah bisa" menulis secara harfiah. Kenapa kita tidak lanjutkan menjadi "membiasakan membaca" dan "membiasakan menulis"!? Kebiasaan (terbiasa) membaca dan kebiasaan (terbiasa) menulis -- termasuk mata pelajaran mengarang -- sebagai budaya dasar -- tidak secara konsepsional dikembangkan di dunia pendidikan formal (SD/SMP/SMU dan sederajat, dan bahkan di kalangan mahasiswa). Seharusnya lembaga pendidikan formal lebih mengembangkan konsep membangun manusia dengan kelengkapan dasarnya serta mengembangkan potensinya -- termasuk memiliki kecerdasan (daya intelektualitas atau daya pikir, daya merasakan, daya bermasyarakat/berlingkungan, dan daya berketuhanan/berkeagamaan) dan yang memiliki dasar/pimikiran/referensi yang kuat dalam berbagai aspek dan khususnya di bidang internal kehidupannya. Jadi, membiasakan/terbiasa membaca merupakan salah satu pilar kecerdasan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pemahaman Cucu, "membaca" merupakan salah satu budaya dasar masyarakat Minangkabau. Hanya saja diberi konteks pada peta "alam takambang jadi guru", yang kemudian menjadi bagian dari "tradisi lisan". IDEALNYA para guru -- apalagi para dosen -- lebih mengajak para siswa untuk mengasah/mengembangkan daya pikir (memikirkan/bertanya dan mempertanyakan -- sampai mengerti). Para siswa dianjurkan mengikuti apa yang terjadi di lingkungannya -- termasuk membaca buku/bertanya dengan anggota masyatrakat berkaitan bidang apa dan berdiskusi dengan siapa saja serta mencari informasi/materi yang dibutuhkan di berbagai sumber lainnya (juga internet) -- sehingga mengetahui banyak hal dan memperjelas/bertanya/menduiskusikan sesama teman dan dengan gurunya. Hal mana pada lembaga pendidikan tinggi seharusnya lebih diintensifkan. Misalnya, para dosen yang diasumsikan melakukan hal sama lebih maksimal akan mengajak mahasiswa untuk mengikuti perkembangan di sekitar/sesuai bidang studinya dan membaca buku terutama sesuai bidang studinya serta mencari informasi/materi terutama sesuai bidang studinya di berbagai sumber (buku, dokumentasi, dan internet). Membiasaan/kebiasaan (terbiasa) menulis, pertama-tama dalam pengertian "menuliskan". Ini berlaku pada kehidupan yang tertib dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam jualbeli di pasar tradisional memang belum terbiasa memberikan bukti transaksi. Atau di kampung-kampung, dalam soal transaksi keuangan (pinjam-eminjam -- bahkan gadai, dan bentuk kerjasama ekonomi -- seperti peduaan/pertigaan dalam mengelola lahan dan ternak) tidak/belum dilakukan secara terulis, misalnya. Di perkantoran -- pada semua level/bentuk instansi/lembaga -- sudah dibiasakan budaya adminstrasi/diadministrasikan dalam berbagai bentuknya pula. Bahkan, kebijakan/kegiatan yang dilegitimasi secara politik menjadi peraturan perundangan dan semua kegiatan yang mengikutinya sudah dilakukan dengan menuliskannya. Bahkan, pidato pimpinan/pejabat (di lembaga pemerintahan/swasta) juga bahkan dibiasakan dalam tulisan! Jadi, bagi generasi terdidik, tekanan membiasakan "menuliskan" sudah dilakukan dalam kehidupan nyata. Hanya saja dalam lembaga pendidikan belum dikembangkan secara mendasar. Terutama dalam menuliskan pikiran/pemikiran dan ide/gagasan serta konsep/proposal, misalnya. Lembaga pendidikan formal -- bahkan lembaga pendidikan tinggi belum melakukan dengan pengulangan/intensitas memadai. Bilamana setiap dosen membiasakan para mahasiswa membaca (buku dan hasil penelitian/internet), mengikuti perkembangan, mencari/menggali informasi di berbagai bidang lain, dan membiasakan memikirkan/mempertanyakan dan atau mendiskusikan/membahas secara intensif, maka mereka akan memiliki banyak bahan. Harus ada instrumen lain yang memaksa mahasiswa menuangkan/mencurahkan semua berupa menambahkan pandangan/pendapat mereka sendiri ke bentuk tulisan. Ini yang harus dibiasakan/dilatihkan/dikembangkan secara intensif di sekolah/perguruan tinggi. TENTU saja tidak ada yang serta-merta menjadi. Ada masa proses/tenggang waktu berlatih sampai memiliki tingkat keterlatihan yang melembaga (jadi terbiasa/membiasakan). Agaknya, membiasakan membaca dan memiliki kemampuan menulis yang baik memerlukan kebersungguhan, pengulangan yang sebanyak mungkin dan seintensif mungkin. Biasanya, banyak dari kita gugur dalam kebersungguhan dan pengulangan secara intensif yang cukup memadai. []

1 komentar:

Unknown mengatakan...

topik dan isi nya bagus, kebetulan saya sedang mencari tulisan bagaimana membiasakan guru untuk menulis dan membaca. Namun jika boleh memberi saran, tulisannya lebih diperhatikan dalam pengetikan dan bisa ditambahkan gambar agar tidak monoton dan lebih menarik untuk di baca. Terima kasih

Posting Komentar