Selasa, 11 September 2012

SELF PUBLISHING: KUAT POSITIONING, JITU DI MARKETING

Sumber: media.kompasiana.com/.../self-publishing-kuat-positioning-jitu-di-marketing/ cover buku Menerbitkan buku secara self publishing atau indie memang mengasyikkan. Inilah kanal di mana seorang penulis tidak melulu bergantung pada penerbit arus utama. Tanpa perlu menunggu lama, diedit secara ketat oleh editor, dinilai pangsa pasar oleh penerbit, kita bisa menerbitkan buku secara mandiri. Tentu dengan duit dari kocek sendiri. Alhamdulillah, buku perdana saya, Menulis dengan Telinga, saya cetak indie. Penerbitnya Indepth Publishing. Ini penerbitan sendiri yang ditaja rekan-rekan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. ISBN-nya diurus sendiri dan alhamdulillah dapat. Naskah ini berasal dari ragam pemikiran saya soal dunia kepenulisan. Sejak memulai menulis di media pada 1999 dan rajin mengunggah tulisan di Kompasiana, saya menemukan potensi terbesar saya dalam dunia kepenulisan. Setidaknya untuk saat ini. Apa itu? Soal kepenulisan. Maka di dalam buku ini, pembaca akan bisa menikmati naskah soal kedudukan bakat, menghadirkan mood, memancing ide, merayu redaktur, menulis ala blitzkrieg, sampai menjadi penulis yang punya personal branding. Alhamdulillah, dari 500 buku yang dicetak, sepuluh hari penjualan, eksemplar yang terjual mencapai 300. Buat saya yang perdana menerbitkan buku, ini sebuah tahniah. Sukacita. Kegembiraan. Kabar baik. Busyro bahasa Arabnya. Nah, dari pengalaman ini, saya kemudian menemukan formula agar kita bisa menerbitkan buku secara indie dan laris. Pertama, kuatkan personal branding. Kita mungkin bisa menulis apa saja. Beragam tema bisa kita buat. Segala jenis berita bisa kita jadikan cantelan untuk membuat artikel yang bagus. Nah, umumnya, setelah melalui rangkaian panjang menulis, seseorang mampu menemukan potensi terbesarnya dalam menulis. Setelah 13 tahun menulis, dan dipicu kanal Blogshoptips Kompasiana-Telkomsel, saya menemukan keasyikan tersendiri saat menatahkan narasi berkenaan dengan dunia kepengarangan. Beberapa materi soal kiat menulis yang saya bikin untuk pelatihan, bisa dikembangkan. Hampir semua pertanyaan peserta pelatihan, saya rumuskan dalam artikel tersendiri. Akhirnya, saya pun mencoba meletakkan pada sebuah keterampilan menulis ihwal kepenulisan. Mungkin ini yang disebut banyak bloger berpengalaman dengan personal branding. Memang agak sulit mengambil suatu spesialisasi yang tak lazim. Ditambah lagi kemungkinan pengembangan dari item itu yang sulit dilakukan. Ya, dunia soal tulis-menulis dari dulu memang begini. Ada hal yang baru, tetapi tidak terlampau progresif. Tapi ini sebuah tantangan. Bagaimana kita mampu menghadirkan sesuatu yang baru di ranah ini. Resep menulis yang memudahkan pembaca untuk menulis harus terus hadir. Setiap waktu. Mesti ada pengembangan strategi dari satu teknik ke teknik lainnya. Yang jelas, kita mesti yakin dan bekerja keras untuk menjadi penulis dengan personal branding yang kuat. Kedua, positioning yang kuat. Dalam manajemen, positioning itu usaha melekatkan merek ke khalayak konsumen. Dalam konteks ini, saya berusaha menguatkan posisi pada orang yang berusaha mengetahui dengan baik soal menulis. Maksudnya, apa pun pertanyaan dari publik soal dunia mengarang, kita mesti menjawabnya dengan baik. Sebuah produk yang mampu memuaskan konsumennya jelas punya positioning yang baik. Seorang penulis yang berusaha keras menghasilkan artikel yang adiluhung juga dihargai pembaca. Saya mau ada di noktah ini. Lagipula, dalam rentang yang lama, dunia kepenulisan sudah saya tekuni. Sekian ajang pelatihan sudah saya hadiri demi memuaskan khalayak. Dan syukur alhamdulillah, dari sana banyak ide baru yang bisa ditulis. Saat peserta bertanya soal apakah bakat penting dalam menulis, timbul ide baru. Saat ada yang bertanya bagaimana menghadirkan mood, artikel baru pun bisa dibikin. Termasuk saat Selvi Diana Meilinda, Kompasianer, meminta saya menulis soal bagaimana menampung ide baru di saat menulis, saya juga mengapresiasi dengan baik. Buat saya, semua pertanyaan dan permintaan itu pinta amal saleh. Dengan adanya pertanyaan, otak kita dipicu untuk berpikir dan menulis. Dari sanalah tulisan itu hadir. Positioning dalam konteks buku indie, jelas penting banget. Dengan teknik penjualan langsung, positioning memegang peranan penting. Saya menulis buku soal menulis. Orang di Bandar Lampung, khususnya peminat dunia tulis-menulis, sudah menempatkan saya sebagai person yang baik di bidang ini. Maka, tatkala buku ini hadir dan saya menawarkan, hampir sebagian besar merespons. Meski mungkin tak langsung membeli, mereka senang dan mengucapkan selamat. Itu jelas bagus. Itu doa buat saya. Memang tidak menutup kemungkinan, seorang penulis baru membuat buku soal dunia kepengarangan, dan laris. Tapi ini langka. Saya percaya kesuksesan itu dibangun dengan kerja keras, komitmen, dan konsistensi tinggi. Rentang waktu itulah yang membuat seseorang itu matang. Termasuk untuk seorang penulis. Pesepakbola andal semacam Andrea Pirlo, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, David Beckham, Gianluigi Buffon, juga mencapai kulminasi suksesnya sejak lama. Kita cuma bisa tahu Pirlo mempunya tendanganyang khas. Begitu juga dengan Beckham. Tapi kita mungkin tidak menyadari, mereka berlatih keras sejak berbilang tahun lalu. Berlatih, bahkan menambah porsi latihan. Tapi saat ini, positioning mereka demikian kuat. Saya hendak menjadi seperti itu, insya Allah. Igo Febrianto, rekan saya di Pers Mahasiswa Pilar Ekonomi semasa kuliah, kini menjadi dosen manajemen di sebuah kampus. Saya bertanya kepadanya soal positioning ini dalam konteks buku saya. Menurut dia, positioning itu untuk melekatkan merek produk ke benak konsumen. Nanti akan tercipta brand loyalty. Ekstremnya, kata dia, “Ente menulis apa pun, orang pasti baca.” Ini jelas bukan perkara gampang. Memang saya siapa, sampai orang tidak peduli dengan kualitas tulisan dan pembaca tetap menikmati karya kita. Cuma, positifnya, penulis itu pasti menjaga kualitas artikel yang dihasilkan. Dengan begitu, brand loyalty memang tercipta. Seolah-olah pembaca kepingin mendapat sesuatu yang baru usai membaca tulisan itu. Brand loyalty berbanding lurus dengan kualitas tulisan. Di bawah brand loyalty, ada brand satisfaction. Orang akan membaca tulisan kita jika dianggap memuaskan atau sesuai dengan apa yang dicari. Ini tahapan kita mampu menyetir pembaca. Tidak peduli kita menulis apa, orang pasti baca. Pencitraan kita berarti sudah ada dalam kulminasi maksimal. Kita sudah memiliki pembaca yang loyal. Akan tetapi, tegasnya, kualitas yang akan menentukan, apakah pembaca itu terus loyal atau tidak. * Peluncuran buku Ketiga, selain positioning yang kuat, strategi pemasaran atau marketing juga tidak bisa diabaikan. Benar kita punya positioning yang kuat. Tetapi marketing yang akan mengabarkan itu. Tanpa informasi yang akurat, produk yang kita hasilkan, buku yang kita tulis, tidak akan diserap dengan baik oleh masyarakat. Kita wajib melakukan promosi dan pemasaran agar buku yang kita bikin terjual maksimal. Maka itu, maksimalkan semua kanal promosi. Saya memang banyak mengandalkan jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook untuk memberi tahu khalayak bahwa buku Menulis dengan Telinga sudah terbit. Pesan via SMS dan BlackBerry Messenger juga menjadi faktor penting bagi pemasaran buku ini. Alhamdulillah, respons yang datang semuanya positif. Dalam rentang sepuluh hari, hampir 300 eksemplar buku terjual. Tapi karena dijual langsung, tentu saja fisik agak lelah karena mesti mengantar sendiri. Atau buat yang di luar kota, mesti dikirim via pos atau titipan kilat. Tapi, ya di situlah perjuangannya. Di situlah kenikmatan menjual indie. Dan marketing adalah striker utama agar eksemplar buku banyak terjual. Tentu tidak cuma mengandalkan cara menjual konvensional semacam jual langsung. Metode peluncuran buku juga saya pakai dan menitip di beberapa toko buku. Di Bandar Lampung cuma ada dua toko buku yang agak besar. Salah satunya Fajar Agung. Kebetulan manajernya karib saat kuliah. Alhasil, korting yang diminta toko buku bisa saya minta agak rendah. Dalam bisnis buku, seperti pernah saya baca, wajar kalau harga buku dikerek empat kali lipat dari harga produksi. Harga buku saya yang 138 halaman itu bisa jadi amat mahal jika mengikuti kaidah ini. Bisa harganya Rp40 ribu atau Rp50 ribu. Padahal saya mau buku ini tak mahal. Paling mahal Rp30 ribu dan itulah harga yang dilempar ke pasar. Cuma masalahnya, saat menitip ke toko buku, pihak toko meminta jatah. Dan ini wajar. Ada toko buku yang meminta separuh harga buku buat profit mereka. Dan ini tentu berat buat penulis. Untungnya di Fajar Agung, mereka minta 35 persen. Harga teman, katakanlah demikian. Tapi tetap saja, karena ada ongkos yang mesti ditutup, harga buku naik juga. Jadi, satu eksemplar yang dijual di sana, naik menjadi Rp35 ribu. Nah, untungnya, Fajar Agung berbaik hati meminjamkan tempat untuk peluncuran buku. Nah, marketing semacam ini juga baik dilakukan. Apalagi kalau ada toko buku yang bersedia meminjamkan tempat untuk launching. Tanpa menunggu lama, acara pun dipersiapkan. Saya kembali menghubungi semua teman untuk hadir. Pembawa acara dan moderator disiapkan. Pembahas buku juga dicari. Honor jika ada diberikan. Sekali lagi, harga teman. Ongkosnya bisa murah, kesan “wah”-nya terasa. Launching buku, Bo! Peluncuran buku, meski dalam skala kecil, tetap penting. Sebab, dari sinilah orang tahu kita punya karya. Dan syukurnya, dalam peluncuran itu ramai juga yang hadir. Ada sekitar 50-an orang. Kebetulan setting tempat di lokasi dekat semua display buku. Kesannya santai dan aura literasinya kuat banget. Yang tidak saya kira, pihak toko buku hari itu juga memberikan diskon 20 persen untuk pembeli. Dari 30 buku yang dititip, 15-nya ludes di hari itu. Buat saya, itu luar biasa. Jadi deh acara itu diembel-embeli penandatanganan buku buat pembaca yang membeli hari itu. Keren! Pasar yang potensial sesungguhnya bisa diciptakan dan marketing memantiknya ke ranah penjualan. Tersebab sedari lama terbiasa menulis dan mengisi kelas pelatihan, pasar itu terbuka dengan sendirinya. Niat yang awalnya berbagi ilmu ternyata mendatangkan keuntungan di kemudian hari. Yang tidak diduga, stasiun radio juga meminati talkshow soal buku itu. Dan saya kira ini marketing yang sangat bagus. Jadilah sebuah stasiun radio, @Radio namanya, meminta saya mengisi diskusi soal buku. Tiga buku saya berikan sebagai doorprize buat tiga penanya yang beruntung. Dan cukup menggembirakan karena hampir sepuluh penanya mengirim SMS malam itu. Siaran di radio, peluncuran buku, memaksimalkan Facebook, dan mengirim pesan via BBM dan SMS, menjadi alat marketing yang menguatkan positioning buku Menulis dengan Telinga. * Kanal indie bukanlah sembarangan. Tidak perlu minder menjual buku secara indie. Self publishing ini ibarat memangkas formalitas penerbitan arus utama. Kalau kita punya sesuatu yang unik, itulah selling point-nya. Kalau merasa lama tak ada jawaban dari penerbit besar, menerbitkan sendiri adalah alternatif. Nama penerbitnya kita bikin sendiri. ISBN bisa diurus dan itu mudah. Percetakan yang bagus juga bertebaran. Kebetulan Indepth Publishing, nama penerbit ini, adalah ikhtiar teman-teman di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung untuk mencari dana secara mandiri. Selain buku saya, sudah tiga buku lain yang terbit. Hasil cetak yang bagus, dan khusus buku saya ada karikatur menarik di akhir setiap bab, membuat terbitan indie tak kalah kelas. Keren, Gan! Sama seperti kita menulis. Ada kalanya tulisan kita itu bagus, tapi tidak dimuat di media massa. Bukan kualitasnya yang jelek. Asli, tulisan itu bagus. Masalahnya ialah redaksi tidak ke sana menurunkan jenis tulisan itu. Sama dengan naskah. Kita punya naskah bagus, tetapi penerbit juga punya kriteria sendiri. Dan titik ketemunya tidak ada. Itulah gunanya kanal indie. Memang benar biaya ditanggung si penulis. Namun, kita kan bisa memprediksi, siapa saja yang akan beli. Kalau di phone book ponsel kita ada 700-an nomor, plus di BlackBerry ada 150-an pin, cetak 500 eksemplar saja insya Allah untung. Tak usahlah mengharap semua terjual. Laku 400 biji saja, keuntungannya sudah lumayan. Kalau ongkos produksi katakanlah Rp7 juta per 1.000 eksemplar, dan harga jual Rp30 ribu, laku 500 biji saja sudah dapat Rp15 juta. Kalau efektif, marketing bagus, dan rajin promosi, 500 eksemplar itu bisa habis dalam sebulan. Selebihnya buku bisa kita jual agak santai dan titip di toko buku. Menitip di toko buku, tegasnya, membantu promosi, meski secara margin tidak terlalu “menguntungkan”. Mengapa? Sebab, toko buku sudah meminta keuntungan sekian persen dari harga buku. Menitip di toko buku setidaknya menjaga eksistensi. Dan kalau-kalau ada teman bertanya dan kita tak bisa mengantar, kan enak tinggal bilang, “Ada kok di Gramedia.” Tapi tetap penjualan langsung adalah saluran distribusi utamanya. Sebab, dari sanalah margin terbesar kita dapatkan. * Menaja kegiatan bedah buku dengan menjalin kerja sama dengan banyak institusi juga bagus dilakukan. Tak usah sering-sering. Sekali dalam sebulan kita diundang dalam bedah atau diskusi buku, kan sudah lumayan. Ada ruang buat penulis promosi. Saya juga demikian. Beberapa teman di Forum Lingkar Pena menawari kerja sama. Paling kita menyiapkan korting buat mereka yang diambilkan dari keuntungan setiap buku yang terjual di acara itu. Khusus buku Menulis dengan Telinga, saya paketkan dengan pelatihan. Mereka yang mau membeli secara berkelompok, silakan mengundang saya mengisi pelatihan menulis. Tidak usah membayar. Sudah cukup dari duit Rp30 ribu yang mereka keluarkan untuk membeli buku. Cara ini efektif karena menghadirkan banyak manfaat buat pembeli: bisa ikut pelatihan, bertemu penulisnya langsung, dan mendapat buku. Tegasnya, kanal indie bukanlah sesuatu yang remeh. Karya berkualitas juga bisa dihasilkan dari sini. Kuncinya adalah pada seberapa kuat si penulis dengan konten buku yang ia bikin. Kemudian, seberapa efektif marketing yang ia lakukan dan kegencaran promosi. Dengan begitu, menulis buku bukanlah sesuatu yang mengawang-awang. Kita bisa melakukannya. Percayalah. Manjadda wajada. Wallahualam bissawab

0 komentar:

Posting Komentar