Sabtu, 29 September 2012

Mengapa banyak orang merasa berat dalam menulis?

O. Solihin
osolihin.wordpress.com/category/writing.../motivasi-menuli.

Assalaamu’alaikum wr wb
Banyak orang merasa berat untuk memulai menulis. Tak sedikit dari mereka pada akhirnya memilih tidak menulis sama sekali. Sebagian kecil memilih meneruskan menulis meski ‘babak belur’ berjibaku melawan hambatan-hambatan menulis. Itu pun ada yang sukses melepas belenggu yang menghambatnya, namun tak sedikit yang menyerah di detik-detik menjelang akhir pertarungan. Melihat kenyataan ini, saya kadang bertanya: begitu beratkah menulis?
Saya memilih jawaban: tidak berat. Yang membuat berat adalah karena kita menganggapnya berat. Sulitkah menulis? Jawaban saya: tidak sulit. Yang membuat sulit adalah karena kita menganggapnya sulit. Jika pikiran dan perasaan kita sudah dipenuhi dengan kata berat dan sulit, maka yang hadir adalah BEBAN. Berbeda halnya ketika kita menganggapnya ringan dan mudah, insya Allah kita akan berusaha untuk membuktikannya dan sekuat tenaga mengupayakannya agar berhasil.
Saya alhamdulillah menjadi salah seorang dari sekian ribu orang yang berhasil menyingkirkan anggapan negatif yang sebelumnya sempat memenjara pikiran dan perasaan saya untuk menulis. Itu artinya, menulis lebih didominasi oleh faktor mental. Bukan hanya pada tahap awal memulai belajar menulis, tetapi juga pada saat sudah bisa menulis. Buktinya, banyak orang yang memulai ingin menulis sering merasa gagal ketika tulisannya tidak enak dibaca, ketika ia kesulitan memilih kata yang bagus, ketika ia hampir mustahil menciptakan rangkaian kata yang indah, ketika ia begitu berat memutuskan memilih tema yang hendak dibahas. Ujungnya? Malas menjadi alasan atas ketidakberdayaannya.
Bagaimana dengan yang sudah bisa menulis? Tetap saja banyak yang merasakan berat untuk menulis. Meski banyak ide berseliweran di kepala, walaupun tak sedikit tema yang sudah ia siapkan, bahkan data pun sudah dipilih mana saja yang akan menjadi penguat argumentasi dalam tulisan, tetapi ternyata hanya berhenti di situ.Tidak dituliskan. Alasannya, kesulitan mendapatkan inspirasi dan momen yang tepat untuk memulai menuliskannya. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka tidak heran jika pada akhirnya ia juga, yang sudah bisa menulis, akan terjebak dalam pikiran dan perasaan yang menganggapnya menulis ternyata berat dan sulit. Ini sekaligus membuktikan bahwa menulis tak selalu harus kuat kemampuannya (baca: keahliannya), karena yang terpenting adalah dahsyatnya KEMAUAN. Why?
Sebab, menulis bukan melulu soal teknis. Tetapi yang terpenting adalah sikap mental. Dan, terutama lagi, cara pandang. Mengapa cara pandang menjadi salah satu modal dalam menulis? Sebab, cara pandang yang kita miliki akan bisa menyemai asa dan terus memeliharanya. Ketika kita memandang bahwa menulis adalah bagian dari hidup kita, maka kita akan berusaha terus menulis agar kita tetap merasa hidup. Benarkah? Kenapa tidak. Banyak orang menjadikan menulis bukan kebetulan, tetapi pilihan. Tak sedikit juga yang menganggap menulis adalah jalan kehidupannya. Berlebihan? Tidak juga. Apalagi jika ia adalah seorang yang memiliki banyak ilmu dan wawasan di kepalanya. Ia akan berusaha membagikannya melalui tulisan dan disebarkan melalui media seluas mungkin agar manfaatnya dirasakan oleh banyak orang. Itulah kehidupannya, jalan hidupnya. Mungkin, tak banyak orang seperti itu, tetapi memang ada. Lalu, di mana posisi kita? Kita sendiri yang bisa menjawabnya.
Beban itu bernama MALAS
Beberapa siswa kelas menulis yang belajar dengan saya mengeluhkan bahwa rasa malas menjadi penghambat keinginan mereka menulis. Ada yang menuliskan bahwa kebingungan memilih kata yang baik berujung rasa malas untuk meneruskan menulis. Ada juga yang menyampaikan bahwa minimnya data yang dia miliki, menjadikan dia malas merampungkan sebuah tulisan. Banyaknya pekerjaan atau kegiatan lain di luar menulis menjadi penyebab munculnya rasa malas untuk menulis. Tak sedikit yang sepertinya pasrah,yang pada akhirnya dia merasa harus realistis, bahwa dirinya tak punya bakat atau tak memiliki hasrat kuat lagi untuk bisa menulis. Ia berhenti dan berusaha mengampuni diri sendiri untuk menutupi kemalasannya.
Mengapa malas menjadi musuh utama dalam menulis? Oya, sebenarnya bukan hanya dalam menulis orang mudah dihinggapi rasa malas. Tetapi rasa malas akan senantiasa hadir manakala kita tidak memiliki motivasi kuat dalam sebuah pekerjaan, kegiatan, atau perbuatan. Komitmen kita yang rendahlah yang sudah memelihara rasa malas dan mengalungkan belenggunya di pikiran dan perasaan kita. Kita tersandera dalam penjara rasa malas akibat lemahnya komitmen kita. Berbeda dengan mereka yang memiliki komitmen kuat dalam menulis, akan senantiasa berusaha menulis. Dalam kondisi terjepit sekalipun. Sepertinya rasa malas tak punya tempat di akal dan hatinya. Pikiran dan perasaannya steril dari rasa malas. Itu sebabnya tak heran jika orang seperti ini memilih jalan sunyi untuk membuktikan komitmennya. Ya, jalan sunyi. Sebab, bisa jadi hanya dirinya yang menyusurinya. Sementara jalan ramai dipenuhi oleh mereka yang ‘mengkambing-hitamkan’ malas sebagai alasan untuk tidak meneruskan menulis sambil mengumbar kata-kata pengampunan ‘dosa’: saya tidak bakat dan tidak punya minat dalam menulis.
Tak ada paksaan untuk bisa menulis
Saya selalu menyampaikan kepada siswa kelas menulis, baik yang belajar melalui jalur online maupun offline (tatap muka), bahwa saya tidak akan pernah memaksa mereka untuk menjadi penulis. Tetapi, karena mereka sudah memilih untuk belajar menulis, maka jangan sia-siakan kesempatan tersebut. Termasuk dalam hal ini, khususnya untuk siswa-siswa saya di Pusdiklat Keterampilan Rumah Gemilang Indonesia, dimana mereka memang sudah disiapkan untuk mempelajari keterampilan menulis bagi semua jurusan (fotografi/videografi, desain grafis, teknik komputer dan menjahit). Mereka hanya perlu duduk manis, mendengarkan penjelasan sambil berusaha menggali potensi diri dalam menulis. Jurusan yang dipilih bisa jadi sudah dipertimbangkan dengan matang oleh masing-masing siswa. Dan, seharusnya juga punya komitmen yang kuat untuk meraihnya.
Adapun keterampilan tambahan yang dimasukkan dalam kurikulum belajar seperti menulis kreatif dan wirausaha, adalah tool atau alat untuk melengkapi keterampilan utamanya. Itu sebabnya, tak perlu juga merasa terbebani. Apalagi belajar di sana gratis. Insya Allah suatu saat nanti ada manfaat yang bisa dirasakan dari proses pembelajaran ini. Salah satu buktinya, seorang alumni jurusan desain grafis yang bekerja di sebuah media massa cetak, menyampaikan kepada saya bahwa dirinya merasa percaya diri untuk bisa menyumbang ide dalam pembuatan judul-judul berita yang menarik. Itu satu manfaat yang dirasakan dari belajar menulis. Insya Allah.
Saya menyadari betul bahwa setiap orang memiliki potensi dan minat yang berbeda-beda. Tak bisa disamakan dan juga tak bisa dibandingkan satu sama lain. Tetapi, ketika kita bicara kesempatan untuk mempelajari suatu keterampilan yang bukan menjadi minatnya sekalipun, tak ada salahnya kita mencobanya, syukur-syukur bisa menekuninya. Percaya atau tidak, kadang kita harus siap untuk memiliki banyak keahlian meski tak maksimal sebagaimana keahlian yang memang diminati. Itu artinya, tak ada salahnya jika seorang dokter memiliki keahlian menulis meski tentu saja tak sebagus keahliannyadi bidang kedokteran, seorang fotografer atau desainer pakaian bisa juga menulis meski tak secanggih hasil jepretan foto atau goresan hasil kreasi desainnya. Insya Allah tetap ada manfaatnya.
Kuatkan niat dan komitmen kita
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), niat diartikan sebagai: maksud atau tujuan suatu perbuatan. Sementara komitmen, masih menurut KBBI, diartikan sebagai perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Nah, itu artinya ketika kita merasa berat dalam menulis, kita tengok kembali niat dan komitmen kita. Tentu masing-masing memiliki niat dan komitmen dalam menulis. Niat dan komitmen yang kuat insya Allah akan memelihara spirit menulis. Sebagaimana niat dan komitmen yang kuat akan menumbuhkan semangat dalam mencintai pekerjaan, bertanggung jawab atas tugas yang menjadi kewajibannya, menjadi spirit tak pernah padam dalam aktivitas dakwah dan lain sebagainya.
Niat dan komitmen yang kuat akan menjadikan kita sebagai orang yang tak pernah merasa cukup bahwa diri kita bisa melakukan yang baik, jika masih ada peluang bagi kita untuk menjadi yang terbaik. Maka, jika sudah bisa menulis, biasakanlah terus menulis agar kemampuannya kian terasah. Tak boleh hanya berhenti karena sudah bisa. Itu sebabnya, jika sudah menjadi kebiasaan, maka saya merasa yakin bahwa menulis bukan lagi sesuatu yang berat. Apalagi jika sudah tampak hasilnya, akan kian menumbuhkan semangat untuk terus menulis. Insya Allah.
Salam,
O. Solihin

0 komentar:

Posting Komentar